Friday 17 July 2015

OLEH-OLEH LEBARAN



Jujur aja, lebaran tahun ini bener-bener sangat berbeda. Adanya orang-orang baru yang masuk dan harus gue anggap sebagai bagian dari keluarga, sampai adanya kejadian satu tahun sekali yang harus gue akui kalo momen itu sulit banget gue dapetin di hari-hari selain lebaran. Dan gue juga baru sadar, kalo ternyata saudara gue itu banyak banget, dari orang Bogor, sampai orang Senegal.

Entah sindrom atau hal apa yang sering banget bikin gue susah tidur kalo besoknya ada suatu perayaan besar yang melibatkan gue di dalamnya. Golar-goler-golar-goler, dari dengerin lagu sampe streaming youtube nggak bikin gue ngantuk sama sekali. Gue pikir ini akan menjadi hari yang buruk mengingat sampe jam 04.00 gue masih juga belum bisa memejamkan mata. Udah kebayang gimana nanti lemes dan pusingnya gue salaman sama tetangga dan saudara yang dateng ke rumah. Boro-boro sempet salaman, yang ada abis sholat ied gue malah ngelanjutin tidur.

Tapi ternyata nggak seburuk itu. Banyak sekali aura-aura positif yang menuntun gue buat seengaknya tetep melek dan menikmati obrolan-obrolan keluarga yang menurut gue sangat penting untuk mempererat atau mengencangkan kembali tali silaturahmi yang sudah mulai mengendur. Ya walaupun nggak semuanya bisa berkumpul karena satu dan lain hal, tapi itu sama sekali tidak mengurangi esensi dari silaturahmi keluarga yang bisa gue dan anggota keluarga lainnya rasakan.

Nyokap gue udah nikah beberapa waktu lalu dan sekarang dia membawa suaminya untuk mengikuti prosesi lebaran anti mainstream yang keluarga gue lakukan, yaitu; saling bermaaf-maafan dan menyambut tetangga-tetangga yang ingin bersilaturahmi atau mengobrol kecil sambil memakan kue yang sudah kami sediakan. Anti mainstream kan? Lho, bukannya esensi sesungguhnya dari berkumpul bersama keluarga di saat lebaran adalah mengobrol dan bercanda di dalam rumah sambil memakan kue yang sudah di buat dengan tangan dan keringat sendiri?

Selang beberapa jam setelah sholat jumat, gue dan sebagian anggota keluarga di kagetkan dengan adanya orang berkulit hitam yang memakai baju muslim berwarna putih dan celana panjang berwarna merah menghampiri rumah kami. Tingginya kira-kira sekitar 185 cm, cukup tinggi bagi rata-rata tinggi keluarga kami yang hanya menyentuh di angka 165 cm. Sekelibat ternyata ada dua orang perempuan yang terlihat tidak asing, satu orang perempuan diantaranya membawa satu anak kecil laki-laki berkulit hitam juga, umurnya sekitar 1,5 tahun yang memakai pakaian muslim berwarna merah dengan balutan warna coklat yang cukup mencolok. Rupanya setelah cipika-cipiki, gue baru mengetahui kalo orang berkulit hitam memakai baju muslim berwarna putih dan celana panjang berwarna merah ini adalah suami kedua dari salah seorang perempuan saudara jauh keluarga kami yang menggendong anak kecil tersebut. Setelah diperkenalkan gue baru tau kalo dia itu orang Senegal, mungkin dia mualaf dan untungnya dia sudah lumayan lancar berbahasa indonesia, ya walaupun masih sedikit di campur dengan bahasa inggris. Sayangnya gue nggak sempet ngobrol dan minta foto sama dia. Percaya sama gue, dia nggak kayak orang-orang Afrika yang sering kita lihat di film-film. Karena dia orangnya ramah dan senang bercanda, pada saat anaknya di gendong oleh nyokap dan tante gue, dia terlihat tidak keberatan. Anaknya pun anteng saat di gendong-gendong dan senang bercanda juga seperti ayahnya. Ini keren banget, berarti secara tidak langsung gue udah punya saudara jauh, nggak nanggung-nanggung, keluarga gue udah mengembangkan sayapnya ke level yang lebih tinggi, ke taraf internasional. Ya memang hanya saudara jauh, sejauh Jakarta-Senegal.

Tapi sebelum kunjungan saudara jauh keluarga gue yang dari Senegal itu berlangsung, sebelum sholat jumat, lebih tepatnya setelah sholat ied. Gue mendapatkan momen yang jarang atau susah banget gue dapetin selain saat lebaran. Bukan cuma tentang kumpul keluarga, makan kue, dapet THR, dan lain-lain. Melainkan ini lebih melibatkan perasaan, Ara, cinta nggak kesampaian gue, datang paling pertama bersama keluarga kecilnya. Kebetulan memang rumahnya Ara itu berhadap-hadapan dengan rumah gue, dan ya memang setiap lebaran Ara dan keluarganya datang ke rumah gue, namun beberapa tahun terakhir gue nggak berani nemuin Ara saat datang bertamu. Mungkin karena sakit dan malu hati karena dia udah menjadi cinta pertama yang nggak kesampaian, dan gue lebih memilih untuk bersembunyi di dalam kamar mandi atau di kamar gue. Namun itu udah beberapa tahun yang lalu, keadaan udah banyak berubah, dan gue udah jadi lebih berani untuk sekedar bersalaman dan bertukar pandangan serta senyuman.

Dan anehnya gue masih aja deg-degan setengah mati, mana gue lagi makan permen, untung nggak keselek.

Kejadiannya begitu cepat, Ara datang ketiga setelah ayah dan ibunya baru disusul dengan kedua adiknya, seperti biasa, dia masih terlihat cantik dengan rambut belah pinggir yang di urai, lesung pipi nya dan senyuman tipis di bibirnya menyapa gue yang terlihat bego dan acak-acakan ini. Mata kita bertemu tidak lama, tatapan matanya yang tajam menatap seperti ingin menusuk hati gue, seakan mengingatkan kalo dia pernah terlalu tinggi sampai-sampai gue nggak bisa menjangkau bahkan menyentuh ujung kakinya. Tidak lama kemudian jemari kita bertemu, jemari yang mungkin terlalu halus untuk seorang manusia. Gue terhanyut, mengingat gue cuma bisa menatap, dan bersentuhan dengan Ara sedekat itu, biarpun rumah kita berhadapan, tetapi rasanya sudah tidak mungkin kalau gue bisa menemukan momen itu selain pada saat lebaran lalu, Ara terlalu sibuk kuliah dan bekerja, dan gue yang terlalu menyibukan diri untuk berusaha percaya kalau gue tidak pantas untuk dia. Sentak lamunan gue tersadarkan seiring dia menarik jemarinya dari jemari gue.

Setelah bersalam-salaman dengan beberapa anggota keluarga gue, Ara dan keluarganya izin untuk pulang. Ini adalah yang gue sebut sebagai momen satu tahun sekali. Ara yang biasanya terlalu tinggi rela merendah hanya untuk tersenyum dan menyentuh sepersekian detik gue yang bodoh dan acak-acakan ini.

Lebaran kali ini membawa oleh-oleh yang sudah gue pesan dari jauh-jauh hari, bukan cuma tentang Ara, juga tentang keluarga, orang tua, dan saudara-saudara yang berbahagia. Gue senang karena orang-orang di sekitar gue bisa merasakan kebahagiaan dalam waktu yang bersamaan.