Jujur aja, lebaran tahun ini bener-bener
sangat berbeda. Adanya orang-orang baru yang masuk dan harus gue anggap sebagai
bagian dari keluarga, sampai adanya kejadian satu tahun sekali yang harus gue
akui kalo momen itu sulit banget gue dapetin di hari-hari selain lebaran. Dan
gue juga baru sadar, kalo ternyata saudara gue itu banyak banget, dari orang
Bogor, sampai orang Senegal.
Entah sindrom atau hal apa yang sering
banget bikin gue susah tidur kalo besoknya ada suatu perayaan besar yang melibatkan
gue di dalamnya. Golar-goler-golar-goler,
dari dengerin lagu sampe streaming youtube nggak bikin gue ngantuk sama
sekali. Gue pikir ini akan menjadi hari yang buruk mengingat sampe jam 04.00
gue masih juga belum bisa memejamkan mata. Udah kebayang gimana nanti lemes dan
pusingnya gue salaman sama tetangga dan saudara yang dateng ke rumah. Boro-boro
sempet salaman, yang ada abis sholat ied gue malah ngelanjutin tidur.
Tapi ternyata nggak seburuk itu. Banyak sekali
aura-aura positif yang menuntun gue buat seengaknya tetep melek dan menikmati
obrolan-obrolan keluarga yang menurut gue sangat penting untuk mempererat atau
mengencangkan kembali tali silaturahmi yang sudah mulai mengendur. Ya walaupun
nggak semuanya bisa berkumpul karena satu dan lain hal, tapi itu sama sekali
tidak mengurangi esensi dari silaturahmi keluarga yang bisa gue dan anggota
keluarga lainnya rasakan.
Nyokap gue udah nikah beberapa waktu
lalu dan sekarang dia membawa suaminya untuk mengikuti prosesi lebaran anti
mainstream yang keluarga gue lakukan, yaitu; saling bermaaf-maafan dan
menyambut tetangga-tetangga yang ingin bersilaturahmi atau mengobrol kecil
sambil memakan kue yang sudah kami sediakan. Anti mainstream kan? Lho, bukannya
esensi sesungguhnya dari berkumpul bersama keluarga di saat lebaran adalah
mengobrol dan bercanda di dalam rumah sambil memakan kue yang sudah di buat
dengan tangan dan keringat sendiri?
Selang beberapa jam setelah sholat
jumat, gue dan sebagian anggota keluarga di kagetkan dengan adanya orang berkulit hitam yang memakai baju
muslim berwarna putih dan celana panjang berwarna merah menghampiri rumah
kami. Tingginya kira-kira sekitar 185 cm, cukup tinggi bagi rata-rata tinggi
keluarga kami yang hanya menyentuh di angka 165 cm. Sekelibat ternyata ada dua
orang perempuan yang terlihat tidak asing, satu orang perempuan diantaranya
membawa satu anak kecil laki-laki berkulit hitam juga, umurnya sekitar 1,5
tahun yang memakai pakaian muslim berwarna merah dengan balutan warna coklat
yang cukup mencolok. Rupanya setelah cipika-cipiki,
gue baru mengetahui kalo orang berkulit
hitam memakai baju muslim berwarna putih dan celana panjang berwarna merah
ini adalah suami kedua dari salah seorang perempuan saudara jauh keluarga kami
yang menggendong anak kecil tersebut. Setelah diperkenalkan gue baru tau kalo
dia itu orang Senegal, mungkin dia mualaf dan untungnya dia sudah lumayan
lancar berbahasa indonesia, ya walaupun masih sedikit di campur dengan bahasa
inggris. Sayangnya gue nggak sempet ngobrol dan minta foto sama dia. Percaya
sama gue, dia nggak kayak orang-orang Afrika yang sering kita lihat di
film-film. Karena dia orangnya ramah dan senang bercanda, pada saat anaknya di
gendong oleh nyokap dan tante gue, dia terlihat tidak keberatan. Anaknya pun anteng saat di gendong-gendong dan
senang bercanda juga seperti ayahnya. Ini keren banget, berarti secara tidak
langsung gue udah punya saudara jauh, nggak nanggung-nanggung, keluarga gue
udah mengembangkan sayapnya ke level yang lebih tinggi, ke taraf internasional.
Ya memang hanya saudara jauh, sejauh Jakarta-Senegal.
Tapi sebelum kunjungan saudara jauh
keluarga gue yang dari Senegal itu berlangsung, sebelum sholat jumat, lebih
tepatnya setelah sholat ied. Gue mendapatkan momen yang jarang atau susah
banget gue dapetin selain saat lebaran. Bukan cuma tentang kumpul keluarga,
makan kue, dapet THR, dan lain-lain. Melainkan ini lebih melibatkan perasaan,
Ara, cinta nggak kesampaian gue, datang paling pertama bersama keluarga
kecilnya. Kebetulan memang rumahnya Ara itu berhadap-hadapan dengan rumah gue,
dan ya memang setiap lebaran Ara dan keluarganya datang ke rumah gue, namun
beberapa tahun terakhir gue nggak berani nemuin Ara saat datang bertamu. Mungkin
karena sakit dan malu hati karena dia udah menjadi cinta pertama yang nggak
kesampaian, dan gue lebih memilih untuk bersembunyi di dalam kamar mandi atau
di kamar gue. Namun itu udah beberapa tahun yang lalu, keadaan udah banyak
berubah, dan gue udah jadi lebih berani untuk sekedar bersalaman dan bertukar
pandangan serta senyuman.
Dan anehnya gue masih aja deg-degan
setengah mati, mana gue lagi makan permen, untung nggak keselek.
Kejadiannya begitu cepat, Ara datang
ketiga setelah ayah dan ibunya baru disusul dengan kedua adiknya, seperti
biasa, dia masih terlihat cantik dengan rambut belah pinggir yang di urai,
lesung pipi nya dan senyuman tipis di bibirnya menyapa gue yang terlihat bego
dan acak-acakan ini. Mata kita bertemu tidak lama, tatapan matanya yang tajam
menatap seperti ingin menusuk hati gue, seakan mengingatkan kalo dia pernah
terlalu tinggi sampai-sampai gue nggak bisa menjangkau bahkan menyentuh ujung
kakinya. Tidak lama kemudian jemari kita bertemu, jemari yang mungkin terlalu
halus untuk seorang manusia. Gue terhanyut, mengingat gue cuma bisa menatap,
dan bersentuhan dengan Ara sedekat itu, biarpun rumah kita berhadapan, tetapi
rasanya sudah tidak mungkin kalau gue bisa menemukan momen itu selain pada saat
lebaran lalu, Ara terlalu sibuk kuliah dan bekerja, dan gue yang terlalu menyibukan
diri untuk berusaha percaya kalau gue tidak pantas untuk dia. Sentak lamunan
gue tersadarkan seiring dia menarik jemarinya dari jemari gue.
Setelah bersalam-salaman dengan beberapa
anggota keluarga gue, Ara dan keluarganya izin untuk pulang. Ini adalah yang
gue sebut sebagai momen satu tahun sekali. Ara yang biasanya terlalu tinggi
rela merendah hanya untuk tersenyum dan menyentuh sepersekian detik gue yang
bodoh dan acak-acakan ini.
No comments:
Post a Comment