Monday 27 October 2014

ANOTHER FAULT IN OUR RELATIONSHIP



Sudah tiga bulan belakangan gue nggak bertemu secara langsung dengan dia. Setelah malam perpisahan itu. Setelah gue melihat dia akrab sekali berfoto dengan cowok lain. Gue masih inget waktu itu gue menantang diri gue untuk Stand up comedy di depan teman-teman. Memang saat itu gue akui tidak berjalan lancar 100%, namun ada kepuasan tersendiri dimana gue bisa membawakan materi yang menuntut untuk dibawakan secara matang dan sempurna. Alhasil gue berhasil menaker diri gue seperti apa dimata teman-teman. Namun ada satu yang tidak bisa ditaker, rasa kecewa gue.

Setelah acara selesai, gue langsung bergegas menuju kamar, gue udah enggan menyapa atau bahkan melihat dia lebih lama lagi. Selain itu gue juga gak kuat sama hawa yang terlalu dingin di puncak (sekolah gue melakukan perpisahan di puncak dan menyewa vila selama 2 hari). Nggak ada yang lebih dingin dari hawa saat malem di puncak, kecuali sikap dia belakangan ini ke gue.

Ada ajakan yang menurut gue cukup gila dari temen gue. Dia berkata:

“Woi lif! Jangan tidur dulu. Berenang dulu lah.. biar enjoy...”

“ENJOY MATA LU!!”

“Yaelah.. aernya kaga dingin kalo lo udah nyebur.. percaya deh sama gue.”

Kata dia meyakinkan gue.

Tapi gue tetep tidak yakin dengan apa yang dia katakan.

“Emang sih pas nyebur kaga dingin. Tapi pas naik pasti dinginnya 2 kali lipat.”

“Ah payah lo..”

Kali ini gue coba nggak ngeladenin ocehan temen gue. Gue lebih memilih untuk menarik selimut dan men-cebur-kan diri ke dalam alam bawah sadar. Gue pikir karena udah terlalu lelah setelah seharian tidak bertemu kasur akan cepat membuat gue tidur. Tapi ternyata enggak, mata gue masih menerawang ke langit-langit kamar, entah apa yang gue pikirkan, yang jelas hawa yang terlalu dingin ini bikin gue tambah susah tidur. Gue ambil hp, membuka beberapa catatan penting yang pernah gue tulis dalam keadaan apapun, dan gue memutuskan untuk menuliskan apa aja yang terjadi hari ini, di dalam catatan baru.

Setelah selesai menulis catatan, gue mulai ngerasa ada yang kurang. Yaitu dia. Gue lupa mengucap kata maaf karena ada beberapa materi Stand up gue yang menyinggung kelakuan dia. Mungkin bukan cuma kelakuan, tapi juga perasaan.

“Maaf ya, tadi cuma bercanda. Hehe.”
(kalo di sms kata ‘hehe’ itu penting sekali. Selain untuk tidak terkesan sombong, juga biar bisa memberikan kesan ketawa-unyu aja gitu. Hehe.)

Sekitar 15 menit gue tunggu akhirnya dia membalas. Dan balasan dari dia yang gak pernah gue lupa sampe sekarang.

“hehehehe”

Kampret.

Setelah tau jawabannya cuma begitu, gue lebih memilih untuk tidur dan nggak ngeladenin lagi sms yang dia kirimkan.

25 menit kemudian HP gue berbunyi lagi.

“Iyaaaaaa”

Karena waktu itu udah pukul 00.30 pagi, gue udah males ngebales sms dari dia yang menurut gue udah nggak penting-penting amat. Udah kelewat bete, percuma juga gue bales. Mendingan juga gue ngelanjutin tidur.

Besoknya, ke-bete-an gue masih berlanjut. Gue pikir awalnya dengan gue berani maju di depan dan Stand Up Comedy, dia bakal tambah atau seenggaknya berpikir dua kali buat nggak ngejauh dari gue. Namun nyatanya nggak. Berbanding terbalik 180 derajat. Dia malah tambah ngejauh dari gue. Lalu, apaka gue nyesel? Nggak. Nggak sama sekali. Justru gue lega. Gue udah bisa mutusin sendiri, kalo dia emang udah nggak ada rasa sama gue.

Perjalanan pulang dari villa tempat gue nginep gue habisin dengan diam berpikir di dekat jendela. Entah apa yang ada dipikiran gue. Yang jelas, gue udah disadarkan secara tidak langsung. Dia seperti ingin menampar, tapi karena nggak enak, dia nyuruh temennya buat nampar gue. Menurut gue itu lebih sakit daripada ditampar langsung. Dan anehnya, gue nggak bisa ngebales. Gue cuma diam, kaget karena nggak nyangka. Mungkin gue emang belum siap, tapi dengan tamparan ini, semoga menjadi bekal yang cukup, buat nggak jadi orang yang manja lagi, nggak semua apa yang gue lakuin harus ada dia. Kalo dia bisa, kenapa gue nggak?

Tiga bulan gue habisin dengan menyibukkan diri sendiri. Dari mulai ikut SBMPTN, ngelamar kerja sana-sini, sampe ikut casting jadi musuhnya Ultramen. Dan udah hasilnya udah bisa diduga, nggak ada yang diterima. Sekalinya ada, gue diterima jadi bintang iklan shampo. Tapi bukan jadi orang yang keramas bahagia banget, tapi jadi botolnya.

Bis yang kami tumpangi berhenti di salah satu tempat perbelanjaan yang mengatasnamakan susu. Segala yang dijual disana mengandung susu. Mulai dari susu sapi murni, makanan olahan yang berbahan dasar susu sapi, sampai ekstrak kotoran sapi. Gue yang nggak berniat berbelanja dan hanya ingin buang air kecil, turun dari bis bersama beberapa orang teman. Niat gue hampir batal karena gue hampir salah masuk kamar mandi. Bukan cuma itu, di depan kamar mandi udah ada dia yang berdiri seperti security. Gue kaget karena hampir menabrak dia, agak seneng sebenernya, coba aja gue nggak buru-buru sadar dan nabrak beneran sampe jatuh, pasti udah kayak di ftv tuh.

Karena malu gue hanya senyum dan dia membalas dengan senyumannya yang sangat sulit gue lupakan. Sebenernya bisa aja gue ngajak ngobrol dia sambil nungguin kamar mandi yang penuhnya kayak lagi ngantri beli iPhone 6 seharga 5 ribu rupiah. Tapi gue kembali mengurungkan niat gue karena udah terlanjur kecewa, dan yang gue liat juga dia udah nggak mau lagi gue ajak ngobrol.

Seperti orang-orang yang selayaknya lagi galau, gue pun nangis sambil kencing di urinoir. Sepanjang air kencing gue keluar, sepanjang itu juga air mata gue keluar. Karena gue udah selesai kencing, gue mau ngelakuin punchline nangis biar puas. Gue teriak sekenceng-kencengnya. Bukan cuma biar nggak inget-inget lagi kejadian hari ini, tapi juga karena titit gue kejepit resleting.

Gue keluar dari kamar mandi. Untungnya titit gue nggak kenapa-kenapa. Mata gue melepaskan pandangan ke seluruh ruangan, mencari dia yang gue kira udah keluar dair kamar mandi. Ternyata emang mungkin dia udah keluar dan nggak nungguin gue. Lagi pipis di kamar mandi aja ditinggalin, apalagi nanti udah lulus dan susah ketemu. Tadi niatnya nggak pengen belanja apa-apa dan langsung ke bis dan dengerin lagu metal sekenceng-kencengnya. Tapi entah kenapa kaki gue malah menuju tempat olahan keripik dari susu sapi. Jadilah gue belanja 3 kantong keripik, 2 botol susu sapi, dan 1 orang kasir untuk dibawa pulang. Uang habis, hati pun terkikis.

Bis kami berjalan perlahan menuju Jakarta. Temen-temen gue sibuk bercanda dan ngobrol, sementara gue cuma diem dipinggir jendela sambil membayangkan apa aja yang udah gue lakuin bareng dia. Seakan semua berputar kembali, gue kayak ada di mesin waktu, melihat jelas senyum canda ngakaknya dia karena kelakuan gue, melihat dia menangis perlahan dan sembunyi dibalik rasa bahagia yang dibuat-buat. Dan sayangnya semua itu sudah terlewati. Gue udah nggak bisa ngelihat semuanya lagi sekarang. Ada banyak tanda tanya dikepala gue, dan mereka akan terus penasaran jika tidak menemukan jawabannya. Gue kini cuma bisa berdoa, semoga dia bisa terus bahagia walau tanpa gue, semoga dia bisa temukan orang yang mencintai dia setulus gue, dan gue harap dia terus berjalan ke depan dan nggak nengok-nengok lagi ke belakang cuma buat ngeliat gue. Mungkin kita emang udah harus pisah sekarang, udah nggak ada lagi yang bisa dipertahanin. Gue juga mau begitu, terus berjalan ke depan, nggak ngeliat ke belakang lagi. Siapa tau kita bertemu lagi di pertengahan, perempatan, atau bahkan di ujung jalan. Satu yang gue percaya, Karena di dalam kaki-kaki yang menguatkan, selalu ada doa-doa yang mengaitkan.

Tuesday 23 September 2014

JUARA DI RAGA, TAK JUARA DI HATI

Beberapa hari sebelum pengumuman pemenang sekaligus acara buka puasa bersama, gue berusaha menyapa dia lewat pesan singkat. Yang gue omongin pun gak jauh-jauh dari keyakinan dia untuk menang atau enggak dalam lomba peragaan busana muslim ini. Seperti yang gue bilang sebelumnya, dia gak pernah yakin kalo kita bakal menang atau seenggaknya masuk 3 besar, gue pun begitu.

Tepat pukul 8 pagi gue berdiri di depan pagar penjaga batas di lantai tiga kelas gue. Iya, hari itu tiba. Aneh sekali saat gue pertama kali bangun tidur, gue gak mikir panjang mau menggunakan baju muslim yang mana, biasanya tiap mau kemana-mana gue adalah orang yang paling ribet memilih baju. Mungkin lebih ribet daripada ngajak makan cewek yang lagi PMS.

Gue nggak mikir panjang. Bangun tidur, mandi, dan langsung mengenakan baju muslim berwarna ungu-ke-biru-biru-an. Ini adalah baju muslim favorit gue, ya, walaupun pas gue pake gue lebih keliatan kayak Janda di bawah Umur alias Jamur (Gaul banget kan gue).

Masih di depan pagar teralis penjaga di depan kelas gue, nggak lama kemudian dia muncul bersama satu orang temannya yang lain dan yang tidak bukan adalah temen gue juga. Gue liat dia mengenakan pakaian muslim beserta jilbab yang warnanya kata temen gue hampir sama kayak yang gue pake. Ungu-ke-biru-biru-an. Gue sendiri kaga begitu sadar karena gue juga lagi asik ngobrol sama temen gue, baru ketika temennya dia ngomong begitu gue langsung tersadar dan berusaha keras berpikir ‘apa iya warnanya sama?’.

Setelah gue berusaha untuk percaya kalo warna baju gue dan baju dia sama, muncullah senyum lebar di pipi kami berdua, sambil tertawa dan berpikir dalam hati ‘wah baju kita samaan lagi, mungkin kita jodoh’ dan gue yakin kalo dia juga berpikiran yang sama dengan apa yang gue pikirin. Tapi gue gak terlalu kaget, karena sebelum-sebelumnya, entah ada apa, apapun yang kita lakukan, kenakan, rasakan, itu selalu sama. Atau mungkin kita yang berusaha menyama-nyamakan. Masih menjadi misteri.

Pukul 17.00 tepat pengumuman pemenang peserta busana muslim/muslimah akan segera dimulai, ini adalah lomba terakhir yang diumumkan. Namun ini bukan lagi tahunnya gue dan kelas gue menjadi juara umum, gue gagal mendapat posisi 3 besar dalam lomba menulis kaligrafi. Ya, mungkin para dewan juri sudah menemukan tulisan ceker ayam yang lebih bagus dari tulisan ceker ayam jantan terlanjur gaul punya gue.

“Iya, ini dia, tiba saatnya untuk pengumuman juara lomba peragaan busana muslim/muslimah...”

“AAAAAKKKKKK......”
Teriak teman-teman gue. Bukan karena mendukung, tapi mereka kelaparan.

“Langsung saja, juara ketiga, diraih oleh..... KELAS 10 AK....!!!”

“WEEEEEHHHHH....”

“Selamat untuk kelas 10 AK, silahkan naik ke atas panggung.”

“Dan, juara kedua, diraih oleh....... Kelas........ 12........ 12.........12.........”

Jantung gue udah mau meledak rasanya. Ditambah MC nya ngulur waktu dan kebanyakan ngomong 12. Gue mau ngambil batu bata dan langsung ngelemparin mukanya sambil ngomong “KELAMAAN LO, MONYET!”

“12..... TKJ....!!!”

Haaaahhh... Lemes gue.... bukan karena ngerasa udah kaga ada harapan, tapi gue lemes karena kelaparan. kayaknya udah gak ada harapan lagi. Mungkin dia bener. Gue pasrah.

“Selamat untuk kelas 12 TKJ, silahkan naik ke atas panggung.”

“Dan ini dia yang ditunggu-tunggu, juara pertama di raih oleh....”

“Oleh....”

“Oleh...”

“Oleh... Siapa hayo..? Kasih tau gak ya...?”

*Ngeselin*

“Oleh kelas........ 12 AP.....!!!”

“WEEEEEHHHHH....”

Temen-temen gue teriak kesenengan. Mereka seneng bukan karena gue dan dia jadi juara 1, tapi mereka seneng karena sebentar lagi buka puasa. Sementara keriuahan memecah ke-pasrah-an gue, gue masih pelanga-pelongo. Kebingungan.

“Selamat untuk kelas 12 AP, silahkan naik ke atas genteng” *loh
Gue yang masih bingung langsung naik ke atas panggung. Gue ngeliat dia yang duduk jauh di belakang gue juga ikut menyusul. Dia ngeliatin gue dengan tatapan nanar heran dan tidak menyangka, gue pun begitu. Kita sama-sama bingung. Aneh sekali, bagaimana bisa kita yang sama sekali tidak pernah mengharapkan yang muluk-muluk tentang lomba ini dan hanya bermodalkan ‘pede aja, kita udah kelas 3’ ini pun menjadi juara 1. Sungguh jauh di atas ekspektasi kita sebagai dua orang yang pernah mengikuti lomba yang sama satu tahun lalu, lawan yang pakaian dan gaya nya diatas panggung jauh lebih keren dan kreatif di atas kita, dan kita bisa melawan rasa ragu kita, melawan cibiran dan sindiran yang disematkan pada gue yang dianggap ‘Hoki’ karena berpasangan sama dia. Dan cibiran itu seakan menjadi boomerang. Sungguh rasa yang luar biasa.

Sambil menunggu hadiah dibagikan, gue sedikit berbasa-basi dengan pemenang lain. Hadiah dibagikan, dan kita berfoto bersama sambil memamerkan hadiah yang belakangan gue tau kalo hadiah itu berisi tas sekolah untuk cowok, dan anehnya hadiah untuk cowok dan cewek itu sama, tas sekolah warna hitam untuk cowok.

Berfoto selesai. Sambil beranjak duduk, gue kembali berpikir gimana caranya gue yang biasa-biasa aja bisa menang dan dapet juara 1. Gue menelaah apa yang terjadi beberapa saat sebelum perlombaan, gue mendapati ada hal yang janggal dalam perlombaan kemarin, gue baru inget kalo 20 menit sebelum perlombaan, dia pergi ke perpustakaan, dan dia di dandanin oleh penjaga perpustakaan yang tidak lain dan tidak bukan adalah salah satu juri perlombaan.

Gue kaget dan hampir teriak “OH IYA!” sekenceng-kencengnya. Tapi niat itu gue batalin karena saat itu sedang ada penceramah yang lagi cerita tentang bulan Ramadhan. Selain itu gue juga takut dilemparin tutup kotak nasi karena dianggap mengacaukan suasana.

Gue menganggap semua ini adalah konspirasi para perempuan. Ada alasan lain dibalik kemenangan gue dan dia yang janggal itu. Rupanya penjaga perpustakaan yang merangkap jadi dewan juri itu mungkin beranggapan seperti ini:

‘Masak peserta yang gue dandanin nggak jadi juara sih, udah capek-capek begini. Gue kan juri-nya, semua keputusan ditangan gue. Pokoknya peserta yang gue dandanin (gue nggak termasuk) harus juara satu! Biarin aja tuh yang laki, udah dandan pas-pas an, muka pas-pas an, dompet pas-pas an, eh nggak deh, kurang lebih tepatnya, ikut menang juga. Itung-itung amal..’

Yaahh... yaudah, mau diapain lagi. Mungkin beda cerita kalau penentuan pemenang ditentukan perseorangan seperti tahun kemarin. Dia pasti juara satu, dan gue mungkin juara sepuluh (padahal pesertanya cuma ada sembilan).

Ada percakapan yang cukup lucu setelah dia membuka sedikit bungkus dari hadiah yang dia dapat. Dia melihat isi dari hadiah tersebut adalah tas cowok berwarna hitam. Kebetulan sekali saat itu gue baru membeli tas baru berwarna biru tua. Dan dia dengan tega nya berkata kalau dia menginginkan tas yang dia dapat ditukar dengan tas yang baru gue beli 2 hari yang lalu, dengan alasan tas yang dia dapat itu tas buat cowok dan warnanya hitam, bukan tas untuk cewek. Dan tas yang gue beli itu warnanya biru tua, dia beralasan tas gue lebih cocok dipakai untuk perempuan. Lebih tepatnya dia. Tega sekali.

Tapi beruntung hal yang sangat mengerikan itu tidak terjadi. Karena dia berencana untuk memberikan tas itu ke tetangganya. Agak lega sekaligus muncul pertanyaan yang sedikit mengganggu, benar gak ya tas itu dikasih ke tetangganya? Padahal kan disimpen aja juga bisa, buat dijadiin kenang-kenangan, kalo kita pernah memenangkan perlombaan yang menurut gue sangat berarti itu. Ya memang hanya juara di raga, tak juara dihati.
 
 

SETITIK ROMANSA DI BULAN RAMDHAN (2)

“Bukannya ingin berpikiran negatif, tapi ternyata setiap orang punya topengnya masing-masing. Ia berganti-ganti peran sesukanya. Sementara aku belum cukup cerdas untuk mengerti kenampakan aslinya. Aku hanya melihat segala hal yang ia tunjukkan padaku, tanpa pernah tahu apa yang sebenarnya ada di dalam hatinya.”

Keadaan semakin membuat gue untuk memilih diantara 2 pilihan. Pilihan pertama, gue akan bertahan walau seakan semesta berusaha memisahkan gue dan dia, pilihan kedua, gue akan menyerah walau sebenernya dalam setiap menjelang tidur, mimpi, bahkan ketika gue membuka mata dia masih terasa dekat, seakan gak mau lepas dari hati gue, bahkan pikiran gue udah berusaha gak nginget-nginget lagi apapun yang terjadi kemarin.

Gak kerasa udah hampir setahun. Masalah bukan cuma ada di hubungan yang gak jelas ini, tapi juga di Ujian Nasional, Ujian Sekolah, dan ujian-ujian lain. Ditambah lagi tekanan ada dimana-mana, guru, teman, sampe keluarga. Sekarang memang udah harus ada yang dikorbanin, gak bisa semua masalah ini ada terus-terusan di kepala gue.

Dan salah satu yang harus gue korbanin itu ya hubungan ini. Lagian komunikasi kita udah jarang banget, sekali pun kita sekelas, cuma sebisa mungkin gue menghindar, dan gue rasa dia juga menghindar, kalaupun ada komunikasi ya cuma sesuatu yang penting aja, kayak kenapa ada salah satu guru kita yang kumisnya LDR, yang kiri ada di atas bibir, dan yang kanan ada di samping kuping.

Bulan Ramadhan mempertemukan kita lagi. Iya, kita masih dipercaya oleh teman dan wali kelas untuk mewakili kelas dalam lomba peragaan busana muslim/muslimah. Awalnya gue udah gak mau, dan teman-teman udah punya pilihan lain untuk nge-wakilin kelas. Dan bener dugaan gue, calon yang udah dipilih itu gak mau, katanya sih malu kalo harus jalan berdua sambil melenggak-lenggok dan sedikit melambai di atas panggung. Kenapa harus malu? Gue aja mau.

“Duh gimana nih pada gak ada yang mau, lo aja lagi deh lif sama dia...”
Kata seorang teman yang sudah mulai frustasi.

“Yaelah masa gue lagi... Yang laen kek, lagian juri juga bosen ngeliat gue mulu.”
Kata gue yang baru sekali ikutan lomba.

“Iya, gue juga gak mau ah... Yang lain aja deh, masa gue mulu.”
Kata dia yang tiap tahun nge-wakilin kelas buat ikutan lomba peragaan busana muslim/muslimah, dan ini tahun ke tiga nya.

Satu kelas mendadak diem. Dan gue rasa mereka butuh waktu dan bantuan wali kelas untuk menentukan siapa aja yang mewakilkan kelas untuk perlombaan nanti. Dalam hati gue berpikir, kenapa ya harus gue sama dia lagi?Gue pun mencoba menelaah dari awal, dan gue menemukan 3 titik benang merah.

Yang pertama kalo gue pikir, sebelum dipasangin sama gue kan dia dipasangin sama temen gue, yang notaben nya gue nggak ditawarin buat ikutan lomba itu. Mungkin karena gue waktu itu pendiem banget, suka pake switer sama headset kemana-mana, ya perasaan gue sih waktu itu gue keren banget, padahal kalo gue sadar waktu itu gue kayak agen rahasia, pembunuh bayaran yang ternyata punya keterbelakangan mental dan bingung dengan orientasi seksualnya dan lagi menyamar jadi agen gas elpiji sama aqua galon. Ya jelas lah kalo mereka lebih milih temen gue yang sifatnya periang, terbuka, dan suka tertawa meski tidak ada yang lucu.

Yang kedua, mungkin karena mereka kurang puas dengan hasil perlombaan tahun petama, ya maklum aja, kelas kita tidak mendapatkan posisi 3 besar dalam perlombaan busana muslim. Makanya mereka melirik gue untuk menggantikan posisi laki-laki yang ditempati oleh temen gue itu. Dan hasilnya gak usah ditanya, kita langsung mendapatkan juara 2 seperti yang gue udah tulis di catetan sebelumnya.

Yang ketiga, gue rasa mereka kehabisan calon peserta, maklum kelas gue cuma terdiri dari 21 perempuan dan 7 laki-laki. Selain kehabisan calon peserta, mungkin mereka ingin mempertahankan gelar dan ingin memperbaikinya, dan istimewanya, mereka menunjuk gue untuk diberikan amanat ini. Asik.

Setelah menemukan jadwal yang cocok, akhirnya kita mengadakan rapat dengan wali kelas. Yang intinya rapat itu berisi tentang calon peserta yang ditunjuk untuk berpartisipasi pada kegiatan lomba. Dan hasilnya sudah bisa ditebak, mereka gak ada yang mau. Sebenernya kenapa sih? kan kita ini mantan juara umum tahun lalu, harusnya kita lebih pede dan lebih siap. Asik.

Gue pun diberikan amanat untuk mewakili kelas dalam lomba menulis kaligrafi lagi, bersama salah satu temen perempuan gue di kelas yang jago gambar. Meskipun tiap kali gue ngeliat gambarnya dia selalu ngegambar tudung saji banyak banget yang belakangan gue tau kalo itu gambar perempuan lagi pake jilbab, dan dia namain tiap gambar perempuan itu dengan nama temen-temen nya dikelas. Gue mau banget sebenernya ngetawain gambar dia, tapi apa kabar gambar kaligrafi gue satu tahun lalu? Yang penting juara 2 HAHAHA!

Masalah terjadi ketika pemilihan calon peserta busana muslim dan muslimah. Gak ada satupun yang mau ngegantiin posisi gue sama dia, sekalinya ada orangnya ragu-ragu, ada lagi ide gila, mungkin saking putus asa nya mereka mau lomba busana muslim ini yang meragain itu perempuan dua-dua nya. Cuma untungnya wali kelas gak nyetujuin ide gila itu, dia lebih memilih gue dan dia yang maju lagi dalam perlombaan ini.

Akhirnya mau dikatakan apa lagi, gue udah terpojokkan dan gak bisa berbuat apapun.

“Udah ya, ini keputusan terakhir. Pokoknya kamu sama dia yang nge-wakilin kelas buat lomba nanti. Titik.”
Kata wali kelas seraya mengetukkan palu yang menandakan keputusannya tidak bisa diganggu gugat.

“Iya bu...”
Kata gue tertunduk lemas.
Padahal dalem hati “Huahahahaha...!!! Akhirnya gue dipilih lagi... Yiha!”

Dia yang cuma diem dan gak berekspresi membuat gue susah menebak apakah dia tidak senang, ataukah dia tambah tidak senang. Entahlah, namun ada yang beda karena kali ini wali kelas gue gak memberikan gue sedikit uang untuk merayu gue yang sebenernya udah nunggu kesempatan ini jauh-jauh hari.

Dia masih diem. Gue sedikit membaca gestur tubuhnya dan gue rasa dia lagi dihadapkan 2 pilihan sulit. Antara gak berani nolak perintah wali kelas dan gak enak sama temen-temen yang lain terutama sama gue. Tidak lama kemudian akhirnya dia menggonggong mengangguk tanda dia menyetujui ajakan atau lebih tepatnya paksaan dari wali kelas. Dan satu kelas pun meng-amin-i tanda kita sah menjadi pasangan, satu hari (lagi).

Gue berusaha membuka percakapan setelah wali kelas pergi meninggalkan kelas.

“Gimana nih, katanya lo gak mau buat ikutan lomba lagi?”

Note: Buat lo yang kalo di sms/chat ngomongnya pake aku-kamu, terus pas ngobrol langsung ngomongnya pake lo-gue. Gue paham perasaan kalian.

“Iya nih gak tau. Gue juga males sebenernya...”

“Yaudah terus gimana, mau gak jadi aja nih? Nanti gue yang ngomong deh sama wali kelas”

Gak ada lagi kata-kata yang terlontar dari mulutnya, gue juga jadi ikutan diem, lebih tepatnya bingung sendiri. Di titik ini gue ngerasain lagi gak enaknya jadi cowok, semua keputusan ada di tangan gue. Mungkin gue bisa nerima apapun keputusan yang gue buat, tapi dia? Gue gak yakin kalo dia nerima sepenuh hati kalo misalnya yang gue omongin gak sesuai yang dia harapkan.

“Enggak. Gak usah. Lagian kita udah kelas 3, pede aja...”

Gue cuma senyum.

Berusaha nepatin janji gue tahun kemarin, satu hari sebelum perlombaan dimulai, gue memutuskan untuk membeli bunga mawar yang asli. Gue ditemenin sama temen gue, dia orangnya lebih pendek dari gue, kalo lagi ngomong lidah sama gusi kayak lagi tawuran, dan agak imut-imut gitu kayak abg jaman sekarang (note: imut = item mutlak). Kebetulan sehari sebelum perlombaan dimulai emang keadaan kelas lagi dibebasin dengan alasan banyak yang mau latihan untuk perlombaan besok. Tapi dia gak gue kasih tau kalo gue mau beli bunga mawar buat dia. Akhirnya gue minjem motor temen gue, belakangan gue tau kalo gue salah minjem motor, karena motornya dia itu motor semi Harley, yang stangnya setinggi pemain basket. Agak ribet bawanya, cuma gue agak tenang karena yang bawa motor itu temen gue. Satu kesalahan yang temen gue lakukan adalah dia gak pake deodoran, jadinya sepanjang jalan gue mau gak mau nyiumin bau bangke tikus yang kayaknya nempel di ketek temen gue.

Beberapa belokan dan putaran terlewati, gue hampir pingsan. Akhirnya kita sampe di tempat tujuan, gue sekarat. Wangi bunga yang dijual disitu gak kecium dan gue perhatiin udah mau layu gara-gara kehabisan oksigen. Karena keadaan yang semakin chaos ini, gue nyuruh temen gue itu buat nunggu di motor aja, gue gak mau harus beli semua bunga di situ karena bunganya hampir mati secara tidak wajar.

Gue masuk ke toko itu lagi, melihat-lihat, mengamati, kira-kira bunga apa ya yang cocok buat dia. Pilihan pertama pasti jatuh ke bunga mawar warna merah. Yang gue tau warna merah melambangkan keberanian, dan yang gue tau dia orangnya pemberani. Gue pernah waktu itu lagi main di sungai dan tiba-tiba ada seekor buaya ingin menggigit gue yang gak ada dagingnya ini, gue menjerit seperti perempuan, dan seketika dia lompat dan langsung menunggangi buaya itu sambil guling-gulingan. Belakangan gue tau kalo gue lagi mimpi.  (ini analisa paling ngasal. Maaf ya *salim)

Gue ngambil bunga warna merah itu, memilih bunga yang paling bagus tentunya. Dan pilihan kedua jatuh pada bunga mawar berwarna putih. Yang gue tau warna putih itu melambangkan kesucian, dan yang gue tau dia orangnya religius banget, kalo di tangannya ada laler dia langsung wudhu, kakinya nyentuh ubin yang kotor dikit dia langsung wudhu, bahkan saking gak mau kotornya dia sholatnya di tempat wudhu. (ini lebih ngasal lagi. Maaf ya *salim)

Belum lagi pas sms-san. Saking religius nya, gue pernah nanya begini:

“Udah lama nih gak ketemu, kamu rindu gak sama aku?”

Terus dia malah jawab

“Aku lebih rindu bulan Ramadhan.”

Saking penasarannya, akhirnya gue sampe nanya begini:

“Kamu cinta gak sama aku?”

Terus dia jawab

“Tapi aku cinta rosul.”

“KAMU SULIS?!”

Gue ambil dua bunga itu, gue kasih ke mbak-mbak penjaga toko bunga nya. Baru mau ngeluarin dompet, tiba-tiba mbak nya nanya satu pertanyaan yang hampir gue lupa.

“Ini bunganya mau di kasih plastik sama pita gak, mas?”

OH IYA! Hampir lupa gue, ini kemungkinannya cuma ada 2, yang pertama mbak-mbak nya bisa baca pikiran gue, yang kedua mbak-mbak nya perhatian sama gue. Tapi gue yakin bukan dua-dua nya sih, soalnya emang biasanya orang yang beli bunga di kasih plastik sama pita, gue aja yang ke-geer-an.

“Iya boleh mbak...”

Seiring mbak-mbak toko bunganya membungkus dan memberikan pita satu persatu pada bunganya, gue pun membayangkan gimana ekspresi dia saat gue kasih bunga itu. Pasti dia kegirangan, salto, nendangin orang..... eh, gak segitunya deh, paling cuma teriak-teriakan.

Gue bayar bunganya, tapi sayang gue gak dikasih kantong kresek buas bungkus bunganya. Gue takut bunga itu gak selamat sampai tujuan, belum sempat dia ngeliat, bunganya udah mati kehabisan oksigen. Oke, gue harus nyari masker buat bunga gue untuk melindungi dari sengatan bau ketek temen gue yang mematikan itu.
Gue sampe tempat tujuan yang tidak lain dan tidak bukan adalah sekolahan gue. Disitu gue sedikit bersyukur karena bunga gue selamat dan masih utuh. Gue langsung sujud syukur dan bergegas menuju kelas. Diluar dugaan gue, ternyata temen gue ber-inisiatif untuk membawa bunganya sampe ke lantai 3 (kelas gue ada di lantai 3). Gue yang udah seneng mau ngasih langsung bunga itu ke dia, malah temen gue yang ngasihin, dan gue cuma bengong. Musnah sudah harapan gue.

Gue sempet mau nyemprotin deodoran ke mata temen gue yang kurang ganteng ajar itu. Tapi gak jadi karena dia dan temen-temen lain percaya kalo gue yang beli bunga itu.

Sebelum ini, sama seperti tahun kemarin kita berdiskusi tentang baju apa yang cocok kita kenakan untuk lomba nanti. Nyokap gue kembali campur tangan, dan katanya saat itu, baju yang kita pakai tidak harus yang ribet-ribet, yang simple tapi tidak ribet, karena yang ribet tidak akan terlihat simple, atau jangan yang ribet-ribet simpel, sama jangan yang simpel-simpel ribet, ya mungkin yang simpel tapi sedikit ribet, dikit aja tapi.

Setelah menghabiskan 3 jam dan cuma membahas simpel dan ribet, akhirnya perpaduan warna yang kita pilih adalah warna Coklat dan Hitam. Kenapa coklat dan hitam? Karena coklat warnanya hitam. Ada juga coklat warna putih, tapi terlalu bikin enek kalo dimakan kebanyakan. Kenapa gak ada coklat yang warnanya coklat? Dan kenapa kita jadi membahas coklat? Gue juga gak tau.

Baju, bunga, dan persiapan yang didasari dengan -Pede aja, kita udah kelas 3- pun sudah selesai. Lombanya masih besok dan gue deg-deg’an nya semaleman. Gue sampe gak bisa tidur kalo belum ngantuk, gak bisa makan kalo belum lapar, dan gak bisa berak kalo belum mules. Tapi lo harus tau, mental -pede aja, kita udah kelas 3- gak bikin rasa nervous gue gak berkurang sedikit pun. Untuk menghilangkan sedikit rasa nervous gue mencoba mengirimkan pesan singkat ke dia.

“Gimana nih besok, udah siap?”
Sent.

“Udah, pede aja, kita udah kelas 3, emang kenapa? Nervous ya? hehehe”

Kampret! Kok dia bisa tau? Apa jangan-jangan tulisan gue agak sedikit bergeter jadi dia tau kalo gue lagi nervous?

“Hehe iya nih... Kurang pede aja, persiapannya minim soalnya. Tapi yakin menang gak nih?

“Menang apaan?! Ngapain sih lo sms gue tengah malem?!”

Ternyata gue salah kirim.

Saking nervous nya.
Gue kirim ulang sms nya.
Sent.

“Yaaa... Gimana yah... Gak terlalu yakin juga sih, kan kita udah kelas 3, saingannya pasti berat-berat.”

“Hehehe iya juga ya... Yaudahlah lagian kita juga udah usaha, apapun hasilnya ya diterima aja.”

3 menit gue tunggu, gak ada balesan.

5 menit gue tunggu, belum ada balesan

10 menit gue tunggu, masih belum ada balesan.

Akhirnya gue cuma berpikir “Ah mungkin udah tidur”

Momen seperti ini sebenernya yang paling gue kangenin. Ketika kita saling berikirim pesan sampai dia terlelap tidur. Gue percaya banget kalo gue menjadi satu-satunya orang yang masih berkomunikasi sama dia sampe dia tidur.Bahkan sampai lupa waktu dan gak pernah kehabisan bahan untuk menjadi obrolan. Mimisan setiap malem, dapet giliran nyuci baju malem-malem, selalu masak buat keluarga setiap malem minggu. Gue pernah ada di dalamnya, merasakan bulatnya rindu, yang tak berujung.

Esok hari tiba, seperti biasa gue terlambat. Gue dateng memakai baju muslim warna coklat dan celana jins warna hitam. Di dalam tas gue udah bawa peci hitam dan kain sarung baru berwarna biru, entah kenapa gue ber-inisiatif membawa kain sarung warna biru yang jelas-jelas warnanya gak nyambung sama pakaian gue. Tidak seperti biasanya, di pintu gerbang tidak ada guru piket yang menjaga, jadilah gue dengan setengah berlari menaiki anak tangga dan menuju ke kelas. Sesampainya di kelas, gue melihat dia yang sudah cantik dengan kerudung berwarna coklat, baju berwarna hitam, dan rok bermotif batik sedang ngobrol dengan beberapa teman perempuan. Gue yang masih ngos-ngosan kaget ngeliat dia dan dia yang ngos-ngosan karena lagi ngobrol juga kaget ngeliat gue. Entah apa yang ada dipikiran gue, gue cuma setengah tertawa melihat dia sambil menaruh tas dan mengambil al-quran karena di masjid sudah sedang melakukan tadarus al-quran. Tanpa bicara gue langsung cabut ke masjid sambil berpikir  “Itu tadi siapa ya?”

Tadarus selesai, saatnya perlombaan. Gue yang kali ini jalannya agak sedikit santai karena sedang asik ngobrol dengan beberapa teman menaiki anak tangga satu persatu. Sesampainya di kelas, gue gak ngeliat dia dimanapun. Gue nyari ke sudut-sudut kelas, ke kolong meja, sampe ke lubang ventilasi, gak ada. Jangan-jangan dia udah pulang karena gue tadi gak ngenalin dia. Tapi untung ada temen gue yang ngasih tau kalo dia lagi di perpustakaan. Dipikiran gue cuma 1 “Oh mungkin lagi nyari-nyari buku tentang gimana cara jalan yang baik saat di atas panggung”.

Dua puluh menit sebelum perlombaan gue gak melihat dia dimanapun. Gue udah turun ke aula untuk bersiap-siap. Gue kembali ngeliat-liat calon saingan gue, semuanya bagus-bagus, dari kelas 1 sampe kelas 3, yang perempuan pakaian sama jilbabnya bagus-bagus, yang laki-lakinya baju muslimnya bagus-bagus, malah cenderung seperti fashionista level perlombaan. Gue ngeliat pakaian gue lebih mirip gembelnista, gue gembel dan gue nista.

Sepuluh menit sebelum pertandingan akhirnya dia turun bersama satu orang temannya. Agak berbeda ketika gue ngeliat dia dikelas dan saat dia turun untuk ikut perlombaan. Yang gue perhatiin model jilbabnya jadi lebih variatif dan make up nya yang lumayan tebel, ya kira-kira 10 halaman lah. Ternyata dia di perpustakaan itu bukan nyari buku, melainkan dia di dandanin oleh penjaga perpustakaan di sekolah gue yang notabennya adalah juri perlombaan nanti. Gue mulai mencium adanya konspirasi disini.

“SUIT SUWIW! GILAK! CANTIK BANGET!”

“EH ADA BIDADARI TURUN DARI SURGA NIH... BENING BANGET...”

“HANJIIRR... KALO TAU GITU MENDING GUE AJA DEH YANG IKUTAN LIF! HOKI BANGET LO...!!!”

Ucapan itulah yang terdengar saat dia lewat dan memecah suasana. Gue cuma diem dan setengah tertawa menanggapi omongan temen-temen gue, padahal dalem hati, “HAHAHAHA!!! MAMPUS LO!!! NGECAT ES BATU AJA SANA!!!”

Dia gak langsung nyamperin gue, melainkan ke ruang guru. Dan setelah beberapa lama, gue dipanggil sama satu temennya yang tidak lain dan tidak bukan adalah tim sukses untuk perlombaan ini 2 tahun terakhir. Gue pun menuruti perintahnya dan ucapan inilah yang gue bilang ke dia pertama kali.

“Gak salah nih?”

Dia cuma senyum dan temennya mukul pundak gue.

Disitu barulah kita berlatih. Gerakannya pun tidak jauh berbeda dengan tahun lalu. Tidak ingin berlama-lama, akhirnya kami pergi bergegas menuju ke tempat perlombaan. Disana masih banyak teman-teman yang perhatiannya masih tertuju ke dia, yang tatapannya seolah-olah berkata “Gila, cantik banget...” dan ketika ngeliat gue tatapan mereka berubah menjadi tatapan -sumpe lo- yang seolah berkata “Ini ngapain supirnya ikut-ikutan?”

Kami duduk menyaksikan seorang guru yang merangkap menjadi mc menerangkan peraturan perlombaan. Tapi gue gak terlalu merhatiin, soalnya gue udah fokus sama gerakan yang jangan sampe gue lupa itu. Ditambah lagi mental -pede aja, kita udah kelas 3- yang bikin gue tambah keringet dingin.

“Yak silahkan calon peserta untuk mengambil nomor yang sudah disediakan”

Belajar dari tahun kemarin, gue gak mau salah ngambil nomor lagi. Gue langsung maju dan mengambil nomor yang mana aja, gak pake feeling gak pake prediksi. Akhirnya tangan gue menentukan kalo gue mendapatkan nomor 6.

Semua peserta di persilahkan keluar ruangan dan berbaris sesuai dengan nomor masing-masing. Ada yang berbeda di tahun ini, bedanya adalah kita boleh memilih lagu apa yang akan mengiringi kita sewaktu di atas panggung. Saran dari teman-teman lagu yang cocok mengiringi kita adalah lagunya Bruno mars yang judulnya stasiun balapan Marry you. Saat itu gue meng-iya-kan aja semua perkataan mereka.

Semuanya berjalan lancar sampai peserta ke tujuh turun panggung. Petaka datang ketika peserta nomor urut lima menggunakan lagu nya Bruno Mars yang Marry you untuk mengiringi mereka, yang tidak lain dan tidak bukan adalah pilihan temen-temen gue.

Gue kebingungan, gue nanya ke dia, dia juga kebingungan, gue nanya ke penjaga sekolah, dia ikut kebingungan. Tapi untung gue punya temen-temen yang bisa meng-handle masalah musik yang rumit ini. Mereka bilang “Udah semuanya aman” dan gue meng-iya-kan saja tanda semua urusan musik gue serahkan ke mereka.

“Ini dia, mari kita sambit sambut peserta dengan nomor urut 9”

Mental -pede aja, kita udah kelas 3- kini sangat di pertaruhkan. Musik sudah dipasang, kita pun berjalan menuju panggung.

“...DEG DEG...”

“...DEG DEG...”

Kita berjalan perlahan, bergandengan seakan semua gerakan sudah hafal diluar kepala. Mental -pede aja, kita udah kelas 3- ternyata sama sekali gak berpengaruh buat gue, gue tetep gemeteran, keringet dingin, dan hampir buang air besar di celana. Gue ngelirik ke arah dia, ternyata dia tidak terlihat grogi sama sekali. Oke, gak ada pilihan lain, gue harus berani.

Dejavu saat kita menaiki panggung. Bagaikan raja dan ratu, kita melambaikan tangan dan diiringi sorak sorai penonton yang seperti menantikan kehadiran kita sejak 20 menit yang lalu. Dan bener dugaan gue saat itu, gue salah gerakan. Harusnya masih ada satu gerakan lagi di pojok panggung, eh gue malah udah maju duluan saking buru-buru nya. Gue kebingungan, ngeliat ke belakang dia masih asik pose-pose memamerkan bajunya. Gue yang udah terlanjur maju cuma diem nahan malu gara-gara salah gerakan. Akhirnya dia maju nyamperin gue sambil ketawa geli banget. Kampret.

Buat ngilangin malu, langsung aja gue ngeluarin bunga di kantong belakang gue dan langsung berlutut buat ngasih bunga yang udah gue siapin. Gue kasih bunga itu sambil menatap dalam ke matanya, dan dia nerima bunga itu sambil masih ngetawain gue. Seperti tahun kemarin, keriuhan penonton paling keras adalah saat gue dan dia maju. Tanpa berlama-lama akhirnya kita memberikan salam terakhir dan langsung turun dari panggung.

Gue agak bete sebenernya. Cuma pas ngeliat dia ketawa geli begitu, gue terenyuh. Gue jarang banget ngeliat dia ketawa selepas itu.

Acara selesai, temen-temen yang lain udah pada bubar. Gue sengaja gak pulang buru-buru, bukan karena gue gak punya ongkos pulang, tapi gue nungguin dia turun dengan tujuan meminta foto berdua seperti tahun kemarin. Mungkin ada sekitar 5 foto yang menjadi abadi dengan bantuan salah satu temen kita.

(note: muka kita sengaja gue tutupin. selain untuk menjaga privasi, muka gue juga gak lulus sensor)

Berfoto selesai, lalu dia dan satu temannya izin untuk pulang duluan. Gue meng-iya-kan sambil terus memandangi punggungnya yang perlahan menghilang. Disitu gue berharap bisa mengucapkan “terima kasih” sekalipun dia bertanya “untuk apa?” gue pasti akan menjawab “untuk segalanya” karena mungkin ini menjadi momen terakhir dimana gue gak tau lagi gimana caranya gue harus bertemu dia selepas kita lulus. Dan mungkin benar, ini adalah foto terakhir kita berdua dalam satu frame. Sekalipun ada kesempatan beberapa waktu lalu, gue enggan memanfaatkan momen tersebut. Saat itu mungkin hati gue berkata “udah, lo samperin dia, lo ajak foto, terus ajak dia ngobrol” Namun di saat yang bersamaan mata gue ngeliat dia lagi asik foto berdua sama cowok lain, akrab sekali. Mungkin mata memang benar, tapi hati tidak selamanya salah. Dan ada kalanya kita harus lebih percaya kepada mata kita ketimbang hati kita.