Beberapa hari sebelum pengumuman
pemenang sekaligus acara buka puasa bersama, gue berusaha menyapa dia lewat
pesan singkat. Yang gue omongin pun gak jauh-jauh dari keyakinan dia untuk
menang atau enggak dalam lomba peragaan busana muslim ini. Seperti yang gue
bilang sebelumnya, dia gak pernah yakin kalo kita bakal menang atau seenggaknya
masuk 3 besar, gue pun begitu.
Tepat pukul 8 pagi gue berdiri di
depan pagar penjaga batas di lantai tiga kelas gue. Iya, hari itu tiba. Aneh
sekali saat gue pertama kali bangun tidur, gue gak mikir panjang mau
menggunakan baju muslim yang mana, biasanya tiap mau kemana-mana gue adalah orang
yang paling ribet memilih baju. Mungkin lebih ribet daripada ngajak makan cewek
yang lagi PMS.
Gue nggak mikir panjang. Bangun
tidur, mandi, dan langsung mengenakan baju muslim berwarna
ungu-ke-biru-biru-an. Ini adalah baju muslim favorit gue, ya, walaupun pas gue
pake gue lebih keliatan kayak Janda di bawah Umur alias Jamur (Gaul banget kan
gue).
Masih di depan pagar teralis
penjaga di depan kelas gue, nggak lama kemudian dia muncul bersama satu orang
temannya yang lain dan yang tidak bukan adalah temen gue juga. Gue liat dia
mengenakan pakaian muslim beserta jilbab yang warnanya kata temen gue hampir sama kayak yang gue pake.
Ungu-ke-biru-biru-an. Gue sendiri kaga begitu sadar karena gue juga lagi asik
ngobrol sama temen gue, baru ketika temennya dia ngomong begitu gue langsung
tersadar dan berusaha keras berpikir ‘apa iya warnanya sama?’.
Setelah gue berusaha untuk percaya
kalo warna baju gue dan baju dia sama, muncullah senyum lebar di pipi kami
berdua, sambil tertawa dan berpikir dalam hati ‘wah baju kita samaan lagi,
mungkin kita jodoh’ dan gue yakin kalo dia juga berpikiran yang sama dengan apa
yang gue pikirin. Tapi gue gak terlalu kaget, karena sebelum-sebelumnya, entah
ada apa, apapun yang kita lakukan, kenakan, rasakan, itu selalu sama. Atau
mungkin kita yang berusaha menyama-nyamakan. Masih menjadi misteri.
Pukul 17.00 tepat pengumuman pemenang
peserta busana muslim/muslimah akan segera dimulai, ini adalah lomba terakhir
yang diumumkan. Namun ini bukan lagi tahunnya gue dan kelas gue menjadi juara
umum, gue gagal mendapat posisi 3 besar dalam lomba menulis kaligrafi. Ya,
mungkin para dewan juri sudah menemukan tulisan ceker ayam yang lebih bagus
dari tulisan ceker ayam jantan terlanjur gaul punya gue.
“Iya, ini dia, tiba saatnya untuk
pengumuman juara lomba peragaan busana muslim/muslimah...”
“AAAAAKKKKKK......”
Teriak teman-teman gue. Bukan
karena mendukung, tapi mereka kelaparan.
“Langsung saja, juara ketiga,
diraih oleh..... KELAS 10 AK....!!!”
“WEEEEEHHHHH....”
“Selamat untuk kelas 10 AK,
silahkan naik ke atas panggung.”
“Dan, juara kedua, diraih
oleh....... Kelas........ 12........ 12.........12.........”
Jantung gue udah mau meledak
rasanya. Ditambah MC nya ngulur waktu dan kebanyakan ngomong 12. Gue mau
ngambil batu bata dan langsung ngelemparin mukanya sambil ngomong “KELAMAAN LO,
MONYET!”
“12..... TKJ....!!!”
Haaaahhh... Lemes gue.... bukan
karena ngerasa udah kaga ada harapan, tapi gue lemes karena kelaparan. kayaknya
udah gak ada harapan lagi. Mungkin dia bener. Gue pasrah.
“Selamat untuk kelas 12 TKJ,
silahkan naik ke atas panggung.”
“Dan ini dia yang ditunggu-tunggu,
juara pertama di raih oleh....”
“Oleh....”
“Oleh...”
“Oleh... Siapa hayo..? Kasih tau
gak ya...?”
*Ngeselin*
“Oleh kelas........ 12 AP.....!!!”
“WEEEEEHHHHH....”
Temen-temen gue teriak kesenengan.
Mereka seneng bukan karena gue dan dia jadi juara 1, tapi mereka seneng karena
sebentar lagi buka puasa. Sementara keriuahan memecah ke-pasrah-an gue, gue
masih pelanga-pelongo. Kebingungan.
“Selamat untuk kelas 12 AP,
silahkan naik ke atas genteng” *loh
Gue yang masih bingung langsung
naik ke atas panggung. Gue ngeliat dia yang duduk jauh di belakang gue juga
ikut menyusul. Dia ngeliatin gue dengan tatapan nanar heran dan tidak
menyangka, gue pun begitu. Kita sama-sama bingung. Aneh sekali, bagaimana bisa
kita yang sama sekali tidak pernah mengharapkan yang muluk-muluk tentang lomba
ini dan hanya bermodalkan ‘pede aja, kita udah kelas 3’ ini pun menjadi juara
1. Sungguh jauh di atas ekspektasi kita sebagai dua orang yang pernah mengikuti
lomba yang sama satu tahun lalu, lawan yang pakaian dan gaya nya diatas
panggung jauh lebih keren dan kreatif di atas kita, dan kita bisa melawan rasa
ragu kita, melawan cibiran dan sindiran yang disematkan pada gue yang dianggap
‘Hoki’ karena berpasangan sama dia. Dan cibiran itu seakan menjadi boomerang.
Sungguh rasa yang luar biasa.
Sambil menunggu hadiah dibagikan,
gue sedikit berbasa-basi dengan pemenang lain. Hadiah dibagikan, dan kita
berfoto bersama sambil memamerkan hadiah yang belakangan gue tau kalo hadiah
itu berisi tas sekolah untuk cowok, dan anehnya hadiah untuk cowok dan cewek
itu sama, tas sekolah warna hitam untuk cowok.
Berfoto selesai. Sambil beranjak
duduk, gue kembali berpikir gimana caranya gue yang biasa-biasa aja bisa menang
dan dapet juara 1. Gue menelaah apa yang terjadi beberapa saat sebelum
perlombaan, gue mendapati ada hal yang janggal dalam perlombaan kemarin, gue
baru inget kalo 20 menit sebelum perlombaan, dia pergi ke perpustakaan, dan dia
di dandanin oleh penjaga perpustakaan yang tidak lain dan tidak bukan adalah
salah satu juri perlombaan.
Gue kaget dan hampir teriak “OH
IYA!” sekenceng-kencengnya. Tapi niat itu gue batalin karena saat itu sedang
ada penceramah yang lagi cerita tentang bulan Ramadhan. Selain itu gue juga
takut dilemparin tutup kotak nasi karena dianggap mengacaukan suasana.
Gue menganggap semua ini adalah
konspirasi para perempuan. Ada alasan lain dibalik kemenangan gue dan dia yang
janggal itu. Rupanya penjaga perpustakaan yang merangkap jadi dewan juri itu
mungkin beranggapan seperti ini:
‘Masak peserta yang gue dandanin
nggak jadi juara sih, udah capek-capek begini. Gue kan juri-nya, semua
keputusan ditangan gue. Pokoknya peserta yang gue dandanin (gue nggak termasuk)
harus juara satu! Biarin aja tuh yang laki, udah dandan pas-pas an, muka
pas-pas an, dompet pas-pas an, eh nggak deh, kurang lebih tepatnya, ikut menang
juga. Itung-itung amal..’
Yaahh... yaudah, mau diapain lagi. Mungkin
beda cerita kalau penentuan pemenang ditentukan perseorangan seperti tahun
kemarin. Dia pasti juara satu, dan gue mungkin juara sepuluh (padahal
pesertanya cuma ada sembilan).
Ada percakapan yang cukup lucu
setelah dia membuka sedikit bungkus dari hadiah yang dia dapat. Dia melihat isi
dari hadiah tersebut adalah tas cowok berwarna hitam. Kebetulan sekali saat itu
gue baru membeli tas baru berwarna biru tua. Dan dia dengan tega nya berkata
kalau dia menginginkan tas yang dia dapat ditukar dengan tas yang baru gue beli
2 hari yang lalu, dengan alasan tas yang dia dapat itu tas buat cowok dan
warnanya hitam, bukan tas untuk cewek. Dan tas yang gue beli itu warnanya biru tua, dia
beralasan tas gue lebih cocok dipakai untuk perempuan. Lebih tepatnya dia. Tega sekali.
Tapi beruntung hal yang
sangat mengerikan itu tidak terjadi. Karena dia berencana untuk memberikan tas
itu ke tetangganya. Agak lega sekaligus muncul pertanyaan yang sedikit
mengganggu, benar gak ya tas itu dikasih ke tetangganya? Padahal kan disimpen
aja juga bisa, buat dijadiin kenang-kenangan, kalo kita pernah memenangkan
perlombaan yang menurut gue sangat berarti itu. Ya memang hanya juara di raga,
tak juara dihati.
No comments:
Post a Comment