Tuesday 23 September 2014

JUARA DI RAGA, TAK JUARA DI HATI

Beberapa hari sebelum pengumuman pemenang sekaligus acara buka puasa bersama, gue berusaha menyapa dia lewat pesan singkat. Yang gue omongin pun gak jauh-jauh dari keyakinan dia untuk menang atau enggak dalam lomba peragaan busana muslim ini. Seperti yang gue bilang sebelumnya, dia gak pernah yakin kalo kita bakal menang atau seenggaknya masuk 3 besar, gue pun begitu.

Tepat pukul 8 pagi gue berdiri di depan pagar penjaga batas di lantai tiga kelas gue. Iya, hari itu tiba. Aneh sekali saat gue pertama kali bangun tidur, gue gak mikir panjang mau menggunakan baju muslim yang mana, biasanya tiap mau kemana-mana gue adalah orang yang paling ribet memilih baju. Mungkin lebih ribet daripada ngajak makan cewek yang lagi PMS.

Gue nggak mikir panjang. Bangun tidur, mandi, dan langsung mengenakan baju muslim berwarna ungu-ke-biru-biru-an. Ini adalah baju muslim favorit gue, ya, walaupun pas gue pake gue lebih keliatan kayak Janda di bawah Umur alias Jamur (Gaul banget kan gue).

Masih di depan pagar teralis penjaga di depan kelas gue, nggak lama kemudian dia muncul bersama satu orang temannya yang lain dan yang tidak bukan adalah temen gue juga. Gue liat dia mengenakan pakaian muslim beserta jilbab yang warnanya kata temen gue hampir sama kayak yang gue pake. Ungu-ke-biru-biru-an. Gue sendiri kaga begitu sadar karena gue juga lagi asik ngobrol sama temen gue, baru ketika temennya dia ngomong begitu gue langsung tersadar dan berusaha keras berpikir ‘apa iya warnanya sama?’.

Setelah gue berusaha untuk percaya kalo warna baju gue dan baju dia sama, muncullah senyum lebar di pipi kami berdua, sambil tertawa dan berpikir dalam hati ‘wah baju kita samaan lagi, mungkin kita jodoh’ dan gue yakin kalo dia juga berpikiran yang sama dengan apa yang gue pikirin. Tapi gue gak terlalu kaget, karena sebelum-sebelumnya, entah ada apa, apapun yang kita lakukan, kenakan, rasakan, itu selalu sama. Atau mungkin kita yang berusaha menyama-nyamakan. Masih menjadi misteri.

Pukul 17.00 tepat pengumuman pemenang peserta busana muslim/muslimah akan segera dimulai, ini adalah lomba terakhir yang diumumkan. Namun ini bukan lagi tahunnya gue dan kelas gue menjadi juara umum, gue gagal mendapat posisi 3 besar dalam lomba menulis kaligrafi. Ya, mungkin para dewan juri sudah menemukan tulisan ceker ayam yang lebih bagus dari tulisan ceker ayam jantan terlanjur gaul punya gue.

“Iya, ini dia, tiba saatnya untuk pengumuman juara lomba peragaan busana muslim/muslimah...”

“AAAAAKKKKKK......”
Teriak teman-teman gue. Bukan karena mendukung, tapi mereka kelaparan.

“Langsung saja, juara ketiga, diraih oleh..... KELAS 10 AK....!!!”

“WEEEEEHHHHH....”

“Selamat untuk kelas 10 AK, silahkan naik ke atas panggung.”

“Dan, juara kedua, diraih oleh....... Kelas........ 12........ 12.........12.........”

Jantung gue udah mau meledak rasanya. Ditambah MC nya ngulur waktu dan kebanyakan ngomong 12. Gue mau ngambil batu bata dan langsung ngelemparin mukanya sambil ngomong “KELAMAAN LO, MONYET!”

“12..... TKJ....!!!”

Haaaahhh... Lemes gue.... bukan karena ngerasa udah kaga ada harapan, tapi gue lemes karena kelaparan. kayaknya udah gak ada harapan lagi. Mungkin dia bener. Gue pasrah.

“Selamat untuk kelas 12 TKJ, silahkan naik ke atas panggung.”

“Dan ini dia yang ditunggu-tunggu, juara pertama di raih oleh....”

“Oleh....”

“Oleh...”

“Oleh... Siapa hayo..? Kasih tau gak ya...?”

*Ngeselin*

“Oleh kelas........ 12 AP.....!!!”

“WEEEEEHHHHH....”

Temen-temen gue teriak kesenengan. Mereka seneng bukan karena gue dan dia jadi juara 1, tapi mereka seneng karena sebentar lagi buka puasa. Sementara keriuahan memecah ke-pasrah-an gue, gue masih pelanga-pelongo. Kebingungan.

“Selamat untuk kelas 12 AP, silahkan naik ke atas genteng” *loh
Gue yang masih bingung langsung naik ke atas panggung. Gue ngeliat dia yang duduk jauh di belakang gue juga ikut menyusul. Dia ngeliatin gue dengan tatapan nanar heran dan tidak menyangka, gue pun begitu. Kita sama-sama bingung. Aneh sekali, bagaimana bisa kita yang sama sekali tidak pernah mengharapkan yang muluk-muluk tentang lomba ini dan hanya bermodalkan ‘pede aja, kita udah kelas 3’ ini pun menjadi juara 1. Sungguh jauh di atas ekspektasi kita sebagai dua orang yang pernah mengikuti lomba yang sama satu tahun lalu, lawan yang pakaian dan gaya nya diatas panggung jauh lebih keren dan kreatif di atas kita, dan kita bisa melawan rasa ragu kita, melawan cibiran dan sindiran yang disematkan pada gue yang dianggap ‘Hoki’ karena berpasangan sama dia. Dan cibiran itu seakan menjadi boomerang. Sungguh rasa yang luar biasa.

Sambil menunggu hadiah dibagikan, gue sedikit berbasa-basi dengan pemenang lain. Hadiah dibagikan, dan kita berfoto bersama sambil memamerkan hadiah yang belakangan gue tau kalo hadiah itu berisi tas sekolah untuk cowok, dan anehnya hadiah untuk cowok dan cewek itu sama, tas sekolah warna hitam untuk cowok.

Berfoto selesai. Sambil beranjak duduk, gue kembali berpikir gimana caranya gue yang biasa-biasa aja bisa menang dan dapet juara 1. Gue menelaah apa yang terjadi beberapa saat sebelum perlombaan, gue mendapati ada hal yang janggal dalam perlombaan kemarin, gue baru inget kalo 20 menit sebelum perlombaan, dia pergi ke perpustakaan, dan dia di dandanin oleh penjaga perpustakaan yang tidak lain dan tidak bukan adalah salah satu juri perlombaan.

Gue kaget dan hampir teriak “OH IYA!” sekenceng-kencengnya. Tapi niat itu gue batalin karena saat itu sedang ada penceramah yang lagi cerita tentang bulan Ramadhan. Selain itu gue juga takut dilemparin tutup kotak nasi karena dianggap mengacaukan suasana.

Gue menganggap semua ini adalah konspirasi para perempuan. Ada alasan lain dibalik kemenangan gue dan dia yang janggal itu. Rupanya penjaga perpustakaan yang merangkap jadi dewan juri itu mungkin beranggapan seperti ini:

‘Masak peserta yang gue dandanin nggak jadi juara sih, udah capek-capek begini. Gue kan juri-nya, semua keputusan ditangan gue. Pokoknya peserta yang gue dandanin (gue nggak termasuk) harus juara satu! Biarin aja tuh yang laki, udah dandan pas-pas an, muka pas-pas an, dompet pas-pas an, eh nggak deh, kurang lebih tepatnya, ikut menang juga. Itung-itung amal..’

Yaahh... yaudah, mau diapain lagi. Mungkin beda cerita kalau penentuan pemenang ditentukan perseorangan seperti tahun kemarin. Dia pasti juara satu, dan gue mungkin juara sepuluh (padahal pesertanya cuma ada sembilan).

Ada percakapan yang cukup lucu setelah dia membuka sedikit bungkus dari hadiah yang dia dapat. Dia melihat isi dari hadiah tersebut adalah tas cowok berwarna hitam. Kebetulan sekali saat itu gue baru membeli tas baru berwarna biru tua. Dan dia dengan tega nya berkata kalau dia menginginkan tas yang dia dapat ditukar dengan tas yang baru gue beli 2 hari yang lalu, dengan alasan tas yang dia dapat itu tas buat cowok dan warnanya hitam, bukan tas untuk cewek. Dan tas yang gue beli itu warnanya biru tua, dia beralasan tas gue lebih cocok dipakai untuk perempuan. Lebih tepatnya dia. Tega sekali.

Tapi beruntung hal yang sangat mengerikan itu tidak terjadi. Karena dia berencana untuk memberikan tas itu ke tetangganya. Agak lega sekaligus muncul pertanyaan yang sedikit mengganggu, benar gak ya tas itu dikasih ke tetangganya? Padahal kan disimpen aja juga bisa, buat dijadiin kenang-kenangan, kalo kita pernah memenangkan perlombaan yang menurut gue sangat berarti itu. Ya memang hanya juara di raga, tak juara dihati.
 
 

No comments:

Post a Comment