TENTANG MENUNGGU

Waktu itu awal-awal masuk sekolah, lebih tepatnya pada saat MOS atau Masa Orientasi Siswa. Di depan mata gue udah terpampang tulisan gede ‘MTs. Muhammadiyah 1 Kota Depok’. Lalu tanpa basa-basi nyokap gue langsung menuntun gue untuk masuk ke dalam sekolah dan mengikuti acara penerimaan sekaligus pengumuman siswa/siswi baru yang diadakan di lapangan upacara. Gue dan anak-anak lainnya yang baru lulus SD semuanya terlihat sama. Pendek, bego, dan bau ketek. Tapi gue nggak terlalu fokus dengan apa yang disanpaikan oleh kepala sekolah. Gue yakin bukan cuma gue yang melakukan hal ini; mengamati setiap anak-anak dari depan sampai belakang, untuk mencari apakah ada teman satu SD kita dulu, yang sama-sama masuk ke SMP yang sama dengan kita. Tujuannya 1, agar kita lebih gampang bergaul dengan teman-teman yang belum kita kenal.

Acara pengumuman dan penerimaaan selesai. Sekitar 200 calon murid dibagi kedalam 5 ruangan. Gue masuk ruangan, dan langsung mencari bangku paling belakang. Kebetulan ada satu bangku kosong yang belum ditempati, langsunglah dengan pede gue menuju ke bangku itu, dan langsung bertanya kepada seorang cowok yang sedang ngupil pake pensil, ‘ini udah ada yang nempatin belum ya?’ Cowok yang belakangan gue tau namanya Birul ini (iya, namanya beneran Birul, jangan di tanya lagi, gue juga nggak ngerti) mencabut pensil dari hidungnya dengan perlahan sambil berkata ‘aaahhh...’ dan seketika terlihat cairan hijau tidak teratur di ujung pensil yang dia pegang. Birul melanjutkan omongannya ‘enggak kok... Duduk aja..’. Dalam hati gue berkata ‘ Ya Allah, selamatkan aku...’

Tidak lama kemudian, ada seorang cewek yang gue yakin dia itu blasteran eropa. Iya beneran, gue tau karena dia pernah cerita ke temennya kalo dia itu kalo sarapan pasti pake roti dan jus jeruk, dan dia nggak sakit perut. Itu kebiasaan orang eropa, kan? Berbanding terbalik sama orang indonesia asli kayak gue, kalo sarapan itu harus pake nasi uduk dan teh manis panas. Orang indonesia terutama gue, kalo makan apa-apa harus pake nasi. Malah kadang-kadang gue pernah makan pizza pake nasi, makan spagetti pake nasi, makan lontong pake nasi. Selain karena saking noraknya, gue kalo makan apa-apa nggak pake nasi itu kurang nendang. Iya, abis gue makan nasi, perut gue langsung ditendang sama nenek-nenek penjual nasi uduk sesuai dengan berapa jumlah nasi yang gue beli.

Tapi serius, rasa-rasanya gue mulai suka sama cewek itu, namanya Nadia, yang gue tau namanya saat seorang senior kampret memanggil namanya saat absen. Nadia cantik banget, gue suka mata sama alisnya, sama idungnya, sama pipinya, sama bibirnya, sama semuanya deh pokoknya. Nadia duduk di depan sebelah kanan bangku gue dan Birul, lebih tepatnya dua bangku dari belakang sebelah kanan gue. Mata gue dan Nadia bertemu pertama kali saat Nadia tidak sengaja melihat ke arah tempat gue dan Birul duduk. Namun sayang saatnya tidak tepat, gue belom sempet memasang pose terganteng gue, yang ada malah gue lagi ikut-ikutan ngupil pake pensil sama si Birul, kampret!

Tapi untungnya Nadia nggak ilfeel. Dia cuma senyum-senyum sendiri, antara jijik sama lucu emang beda tipis, tapi gue baru ngeliat ternyata Nadia lagi dikelitikin sama temen sebelahnya.

Akhirnya bel istirahat berbunyi, gue langsung berdiri dan melepaskan atribut bodoh yang melekat di kepala dan badan gue. Nadia juga begitu, dia keluar kelas bersama dua orang temannya, sementara gue keluar sendiri dan langsung mencari temen SD gue, Rafli. Rafli orangnya nggak terlalu ganteng, nggak terlalu jelek juga, ya itungannya hampir ganteng tapi pasti jelek lah. Tapi kalo menurut gue ya, gue nggak terlalu peduli sama bentuk fisik dari sahabat-sahabat gue, yang penting dia itu setia kawan dan bisa bawelin gue. Ini adalah poin pertemanan yang kedua; Solidaritas di atas segalanya.

Di depan teras kelas, Rafli muncul dari kelasnya di lantai 2. Kita mengobrol singkat, dan gue langsung membicarakan kalo gue lagi tertarik sama Nadia.

‘Fli, gue lagi suka nih sama cewek’

‘Anjir langsung nemu aja lo... Yang mana nih?’

Gue diem, gue dan Rafli melepaskan pandangan ke seluruh lapangan, hanya terlihat sekumpulan anak laki-laki yang gue belum kenal sedang asik bermain sepak bola. Tiba-tiba dalam sekelebat Nadia dan 2 orang temannya lewat di depan gue dan Rafli, sepertinya dia baru abis dari kamar mandi.

‘Yang mana lif?’

Gue langsung menjawab,

‘Ya lo tau lah yang mana...’

Rafli senyum-senyum sendiri. Bukan karena temennya Nadia lagi ngelitikin dia dari belakang, tapi melainkan sepertinya Rafli udah bener-bener paham sama selera gue.

‘Eh tunggu deh. JANGAN BILANG LO JUGA SUKA SAMA DIA?!

Rafli langsung menjawab,

‘Hahahaha... nggak lah... gue juga sadar diri kali...’

Bagus.

‘Tapi lo jangan cuma terfokus sama Nadia lif. Coba lo liat anak-anak yang lagi maen bola di lapangan itu. Bisa jadi saingan lo lebih banyak daripada mereka. Hati-hati lif...’

Rafli emang paling bijak kalo soal percintaan. Bisa dibilang dia itu pengalamannya udah banyak. Ya lo tau kan kalo orang yang pengalamannya udah banyak itu yang paling sering apa? Yak betul...

Tapi Rafli betul, gue harus lebih hati-hati. Tapi gimana caranya ya?

Nggak kerasa udah 3 hari gue mikirin gimana caranya biar gue deket sama Nadia. Kepala sekolah sekaligus panitia sudah memanggil kami dengan TOA nya untuk segera menuju lapangan untuk berbaris dan sekaligus mengakhiri MOS atau Masa Orientasi Siswa ini. Gue dan Birul langsung berjalan ke lapangan begitu juga Nadia dan 2 orang temannya. Namun gue terkejut sekaligus berharap ketika kepala sekolah mengumumkan bahwa kelas kita akan di acak lagi. Dalam hati gue berkata, ‘Ya Allah mudah-mudahan sekelas sama Nadia...’ tapi kepala sekolah berkata lain, gue nggak sekelas sama Nadia.

Rafli bener soal kata-katanya. Sepengelihatan gue, hampir semua cowok di angkatan gue itu suka sama Nadia. Dia udah menjadi bunga mawar di sekolah, setiap dia jalan, cowok-cowok mengikuti dia dari belakang. Sementara gue, ya jadi bunga bangkai lah, setiap gue jalan, lalat-lalat dan serangga mengikuti gue dari belakang. Sepertinya gue udah kehilangan harapan, dengan melihat saingan-saingan gue yang jauh lebih ganteng, tinggi, dan jago olahraga, nyali gue udah ciut duluan.

Semester 1 udah menemui ujungnya, keadaan sekolah ramai tidak terkendali, ya maklum aja, udah selesai UAS dan liburan hanya tinggal menghitung jam. Gue, Birul, Rafli dan teman-teman lain hanya berkumpul di kantin dan membicarakan nanti mau liburan dimana. Nadia masih menjadi idola bagi laki-laki, tapi kayaknya ada yang aneh, Nadia sampai sekarang belum punya cowok, ya secara kan banyak cowok-cowok yang ngejar dia dengan keadaan fisik memumpuni. Entah Nadia yang seleranya tinggi, atau karena cowok-cowok tersebut tidak ada yang serius dengan dia, atau dalam bahasa lainnya, ya cuma caper doang.

Gue memutuskan untuk pamit pulang duluan ke teman-teman, karena gue udah nggak sabar mau liburan di rumah nenek gue di Jakarta. Gue jalan menuju gerbang tanpa menengok kanan kiri, gue udah nggak mikirin Nadia lagi, dia pasti dapet cowok yang lebih baik, lebih bisa memenuhi kebutuhannya dari gue. Tiba-tiba saat gue melewati beberapa kelas, terdengar samar ada suara perempuan yang memanggil gue,

‘LIF!’

Gue menengok pasti, berharap bukan ibu kantin yang manggil gue, mengingat gue barusan makan gorengan 5 tapi ngaku 3. Untungnya bukan ibu kantin, tapi Nadia dan 1 orang temannya yang gue tau bernama Dewi, memanggil gue, entah ada apa.

‘Lo Alif kan?

Nadia bertanya kepada gue, gue deg-degan setengah mati.

‘Iya... Lo Nadia... Yang terkenal itu kan?’

‘Hahaha bisa aja lo... eh kenalin, ini Dewi’

‘Hai lif’

Kata Dewi, seraya kita berjabat tangan.

‘Hai... Iya... Lo Dewi kan... temennya yang terkenal itu?’

‘Hahahaha’

Mereka tertawa heran.

‘Eh lo mau kemana nih?’

Kata Nadia

‘Gue mau..... Balik. Emang kenapa?’

Kata Gue

‘Ehm! Ini bisa gak ya ngobrolnya di tempat lain aja, anak-anak yang lain pada mau keluar nih!’

Kata satpam sekolah gue. Ternyata kita ngobrol di depan gerbang sekolah.

‘Ehehehe iya iya maaf pak...’

Kami pun berpindah tempat ke depan kelas Nadia, lalu dia melanjutkan omongannya yang terpotong,

‘Ehh... nggak kok, gapapa, yaudah kalo mau balik, balik aja... Daahh.. See ya!’

Gue yang bingung langsung menjawab,

‘Ohh... Yaudah deh, gue duluan ya’

Sepanjang perjalanan dari kelas Nadia menuju pinggir jalan tempat biasa gue menunggu angkot gue habiskan untuk berpikir. Lalu gue inget sesuatu, ternyata tanpa gue sadari, Nadia sering memperhatikan gue, dari mulai pertama kali saat MOS, sampai sekarang. Lalu, tujuannya dia manggil gue apa? Kan selama ini dia sering dikejar cowok-cowok, terus juga selama ini gue nggak ngerasa Nadia sering merhatiin gue, kecuali pada saat MOS. Seiring gue memberhentikan angkot, gue berkesimpulan bahwa mungkin Nadia cuma mencari perhatian ke cowok yang nggak terkenal kayak gue, entah tujuannya apa, tapi mungkin dia udah agak bosen dikejar-kejar cowok, atau mungkin dia hanya ingin mencari fans baru, secara kan gue nggak terkenal dan nggak ngejar-ngejar dia. Lalu saat gue mendekat, dia bisa pergi kapan saja. Entahlah.

Liburan berakhir. Semester 2 sudah di depan mata. Gue masuk sekolah seperti biasa. Membawa cerita yang itu-itu aja. Namun sepertinya ada yang kurang, Nadia mana ya? Sehari gue pikir, oh mungkin dia nggak masuk. Dua hari gue tunggu, oh mungkin dia sakit. Tiga hari gue nanti, oh mungkin dia udah mati. Sampai seminggu, dua minggu, Nadia nggak pernah keliatan. Dewi pun jadi lebih sering jalan ke kantin sama temennya yang lain. Terus Nadia kemana? Disaat gue lagi duduk-duduk sama temen-temen gue di depan kelas, tiba-tiba segerombolan anak-anak cowok yang dulu ngejar-ngejar Nadia lewat di depan gue sambil berkata, ‘Ah coba Nadia masih ada ya, pasti bakalan seru banget nih. Sayang aja dia udah pindah ke Bali.’ Dalem hati gue, ‘KE BALI?! NADIA PINDAH KE BALI?!’. Gue langsung kabur nyari Dewi, gue telusuri sekeliling sekolah, Dewi nggak tau kemana. Bel sekolah memberhentikan pencarian gue. Akhirnya gue putuskan untuk mencari Nadia lewat akun Facebooknya nanti setelah pulang sekolah.

Tidak butuh waktu lama untuk menemukan akun Facebooknya Nadia. Dan ternyata benar, Nadia sudah mengganti Location Facebooknya menjadi di Bali, bukan di Depok lagi. Di tambah dia mengupload foto profilnya yang berlatar belakang sunset yang sepertinya di salah satu pantai di Bali. Pertanyaannya adalah kenapa Nadia nggak bilang? Kenapa Nadia pergi saat dia memberikan harapan ke gue? Apa maksud dia manggil gue waktu itu untuk sekedar berpamitan? Kenapa lo nggak bilang Nadia?!

Esoknya saat jam istirahat gue pergi keluar untuk nyari Dewi, ternyata dia ada di depan kelasnya sambil makan batagor bersama beberapa orang temannya. Gue langsung bertanya,

‘Nadia kemana?’

Dewi langsung menjawab dengan mulut penuh dengan batagor,

‘Nadia pindah ke Bali, soalnya orang tuanya pindah pekerjaan jadi di Bali. Emang lo baru tau?’

‘KAMPRET! KENAPA LO NGGAK NGASIH TAU DARI AWAL?!

‘Ya gue pikir lo udah tau... hehehe sorry sorry...’

Nadia udah pergi jauh. Dan bodohnya tanpa gue sadari, Nadia ternyata juga menyimpan rasa sama gue. Yang paling gue sesali, kita nggak pernah sekalipun ngobrol atau sekedar menyapa. Dan ternyata benar, sesedih-sedihnya pasangan, adalah mereka yang saling menunggu, tapi tidak pernah tau kalau sama-sama ditunggu.

SEBATAS JARAK

Ada seseorang perempuan yang bisa mengubah cara pandang gue dalam mendapatkan sesuatu. Dia sadar betul bagaimana caranya untuk mendapatkan perhatiannya. Mungkin itu belum sepantasnya di lakukan untuk anak kelas 4 SD. Tapi entah pergaulan atau didikan orang tuanya, dia menjadi seseorang yang begitu gue idolakan. Seperti itulah, Ara telah menjadi obesesi dan hanya berada di dekatnya, menjadi sesuatu yang gue impi-impikan.

Ara adalah anak pertama dari tiga bersaudara, dia punya satu adik perempuan dan satu adik laki-laki. Keluarga Ara bisa di bilang adalah kerabat dekat keluarga besar gue, karena dari zaman dulu memang kita sudah bertetangga, jauh sebelum gue dan Ara lahir, nyokap gue dan ibu nya Ara udah saling mengenal, walaupun nggak terlalu dekat, hanya kenal nama saja. Tanggal lahir dan tahun kelahiran gue dan Ara pun nggak berbeda jauh, hanya selisih 20 hari. Gue lahir pada tanggal 2 September 1996, dan Ara lahir pada tanggal 22 September 1996.

Gue tau banyak tentang Ara, dari mulai makanan kesukaan nya, minuman kesukaannya, boneka kesukaannya... Ara kalo lagi iseng terus nggak ada makanan di rumahnya suka makan indomi pake nasi, gue tau karena saat itu gue jualan indomi terus Ara beli indomi soto di gue 5 bungkus. Gue juga pernah liat Ara beli jamu beras kencur sama jamu klingsir di mbak-mbak jamu bersepeda, gue tau karena saat itu gue menyamar menjadi mbak-mbak jamunya. Gue juga tau Ara seneng banget sama Stitch dalam kartun Lilo & Stitch, itu terbukti dia mengkoleksi banyak boneka Stitch di kamarnya, saking banyaknya, kamarnya penuh dengan boneka dan Ara tidur di luar.

Jarak memisahkan kami. Gue yang saat itu tinggal dan sekolah di Depok, jadi jarang bisa ngeliat Ara yang tinggal dan sekolah di Jakarta, dia bersekolah di salah satu SD yang terbilang cukup elit di kawasan Guntur, Jakarta Selatan. Jadinya gue cuma bisa ngeliat Ara pada saat liburan sekolah, itu pun jarang-jarang karena Ara suka pergi menginap di rumah saudaranya di Bekasi.

Gue enggan sebenernya untuk di bilang Secret Admirer. Ya karena emang nggak ‘Secret-Secret’ amat. Mengingat rumah kita yang berhadap-hadapan, kalo begini gue menyebutnya ‘Mengamati Tetangga’.

Sampai pada ketika lulus SD, ada usulan dari tante gue untuk gue supaya tinggal dan sekolah di Jakarta. Gue udah seneng aja karena gue tau gue bakalan bisa sering ngeliat Ara atau bahkan gue bakalan satu sekolah dengan dia. Sungguh mimpi yang akan menjadi kenyataan. Namun belum menjadi kenyataan, nyokap gue nggak ngebolehin gue tinggal di Jakarta, dengan alasan nanti gue ngerepotin tante, kakek dan nenek gue di sana. Dan di saat yang bersamaan, gue tau kalo Ara udah lolos masuk ke salah satu SMP elit di kawasan Cikini yang menjadi sekolah incaran gue juga.

Baru pada saat SMK gue benar-benar tinggal di Jakarta, gue pernah cerita alasan gue pindah dari Depok ke Jakarta: [DI SINI] memang keadaan udah banyak berubah, tapi sepertinya rasa cinta atau penasaran gue terhadap Ara nggak banyak berubah. Hanya sudut pandang gue sekarang melihat Ara sebagai sebuah tanda tanya besar, dan menjadi lebih abu-abu.

OLEH-OLEH LEBARAN

Jujur aja, lebaran tahun ini bener-bener sangat berbeda. Adanya orang-orang baru yang masuk dan harus gue anggap sebagai bagian dari keluarga, sampai adanya kejadian satu tahun sekali yang harus gue akui kalo momen itu sulit banget gue dapetin di hari-hari selain lebaran. Dan gue juga baru sadar, kalo ternyata saudara gue itu banyak banget, dari orang Bogor, sampai orang Senegal.

Entah sindrom atau hal apa yang sering banget bikin gue susah tidur kalo besoknya ada suatu perayaan besar yang melibatkan gue di dalamnya. Golar-goler-golar-goler, dari dengerin lagu sampe streaming youtube nggak bikin gue ngantuk sama sekali. Gue pikir ini akan menjadi hari yang buruk mengingat sampe jam 04.00 gue masih juga belum bisa memejamkan mata. Udah kebayang gimana nanti lemes dan pusingnya gue salaman sama tetangga dan saudara yang dateng ke rumah. Boro-boro sempet salaman, yang ada abis sholat ied gue malah ngelanjutin tidur.

Tapi ternyata nggak seburuk itu. Banyak sekali aura-aura positif yang menuntun gue buat seengaknya tetep melek dan menikmati obrolan-obrolan keluarga yang menurut gue sangat penting untuk mempererat atau mengencangkan kembali tali silaturahmi yang sudah mulai mengendur. Ya walaupun nggak semuanya bisa berkumpul karena satu dan lain hal, tapi itu sama sekali tidak mengurangi esensi dari silaturahmi keluarga yang bisa gue dan anggota keluarga lainnya rasakan.

Nyokap gue udah nikah beberapa waktu lalu dan sekarang dia membawa suaminya untuk mengikuti prosesi lebaran anti mainstream yang keluarga gue lakukan, yaitu; saling bermaaf-maafan dan menyambut tetangga-tetangga yang ingin bersilaturahmi atau mengobrol kecil sambil memakan kue yang sudah kami sediakan. Anti mainstream kan? Lho, bukannya esensi sesungguhnya dari berkumpul bersama keluarga di saat lebaran adalah mengobrol dan bercanda di dalam rumah sambil memakan kue yang sudah di buat dengan tangan dan keringat sendiri?

Selang beberapa jam setelah sholat jumat, gue dan sebagian anggota keluarga di kagetkan dengan adanya orang berkulit hitam yang memakai baju muslim berwarna putih dan celana panjang berwarna merah menghampiri rumah kami. Tingginya kira-kira sekitar 185 cm, cukup tinggi bagi rata-rata tinggi keluarga kami yang hanya menyentuh di angka 165 cm. Sekelibat ternyata ada dua orang perempuan yang terlihat tidak asing, satu orang perempuan diantaranya membawa satu anak kecil laki-laki berkulit hitam juga, umurnya sekitar 1,5 tahun yang memakai pakaian muslim berwarna merah dengan balutan warna coklat yang cukup mencolok. Rupanya setelah cipika-cipiki, gue baru mengetahui kalo orang berkulit hitam memakai baju muslim berwarna putih dan celana panjang berwarna merah ini adalah suami kedua dari salah seorang perempuan saudara jauh keluarga kami yang menggendong anak kecil tersebut. Setelah diperkenalkan gue baru tau kalo dia itu orang Senegal, mungkin dia mualaf dan untungnya dia sudah lumayan lancar berbahasa indonesia, ya walaupun masih sedikit di campur dengan bahasa inggris. Sayangnya gue nggak sempet ngobrol dan minta foto sama dia. Percaya sama gue, dia nggak kayak orang-orang Afrika yang sering kita lihat di film-film. Karena dia orangnya ramah dan senang bercanda, pada saat anaknya di gendong oleh nyokap dan tante gue, dia terlihat tidak keberatan. Anaknya pun anteng saat di gendong-gendong dan senang bercanda juga seperti ayahnya. Ini keren banget, berarti secara tidak langsung gue udah punya saudara jauh, nggak nanggung-nanggung, keluarga gue udah mengembangkan sayapnya ke level yang lebih tinggi, ke taraf internasional. Ya memang hanya saudara jauh, sejauh Jakarta-Senegal.

Tapi sebelum kunjungan saudara jauh keluarga gue yang dari Senegal itu berlangsung, sebelum sholat jumat, lebih tepatnya setelah sholat ied. Gue mendapatkan momen yang jarang atau susah banget gue dapetin selain saat lebaran. Bukan cuma tentang kumpul keluarga, makan kue, dapet THR, dan lain-lain. Melainkan ini lebih melibatkan perasaan, Ara, cinta nggak kesampaian gue, datang paling pertama bersama keluarga kecilnya. Kebetulan memang rumahnya Ara itu berhadap-hadapan dengan rumah gue, dan ya memang setiap lebaran Ara dan keluarganya datang ke rumah gue, namun beberapa tahun terakhir gue nggak berani nemuin Ara saat datang bertamu. Mungkin karena sakit dan malu hati karena dia udah menjadi cinta pertama yang nggak kesampaian, dan gue lebih memilih untuk bersembunyi di dalam kamar mandi atau di kamar gue. Namun itu udah beberapa tahun yang lalu, keadaan udah banyak berubah, dan gue udah jadi lebih berani untuk sekedar bersalaman dan bertukar pandangan serta senyuman.

Dan anehnya gue masih aja deg-degan setengah mati, mana gue lagi makan permen, untung nggak keselek.

Kejadiannya begitu cepat, Ara datang ketiga setelah ayah dan ibunya baru disusul dengan kedua adiknya, seperti biasa, dia masih terlihat cantik dengan rambut belah pinggir yang di urai, lesung pipi nya dan senyuman tipis di bibirnya menyapa gue yang terlihat bego dan acak-acakan ini. Mata kita bertemu tidak lama, tatapan matanya yang tajam menatap seperti ingin menusuk hati gue, seakan mengingatkan kalo dia pernah terlalu tinggi sampai-sampai gue nggak bisa menjangkau bahkan menyentuh ujung kakinya. Tidak lama kemudian jemari kita bertemu, jemari yang mungkin terlalu halus untuk seorang manusia. Gue terhanyut, mengingat gue cuma bisa menatap, dan bersentuhan dengan Ara sedekat itu, biarpun rumah kita berhadapan, tetapi rasanya sudah tidak mungkin kalau gue bisa menemukan momen itu selain pada saat lebaran lalu, Ara terlalu sibuk kuliah dan bekerja, dan gue yang terlalu menyibukan diri untuk berusaha percaya kalau gue tidak pantas untuk dia. Sentak lamunan gue tersadarkan seiring dia menarik jemarinya dari jemari gue.

Setelah bersalam-salaman dengan beberapa anggota keluarga gue, Ara dan keluarganya izin untuk pulang. Ini adalah yang gue sebut sebagai momen satu tahun sekali. Ara yang biasanya terlalu tinggi rela merendah hanya untuk tersenyum dan menyentuh sepersekian detik gue yang bodoh dan acak-acakan ini.

Lebaran kali ini membawa oleh-oleh yang sudah gue pesan dari jauh-jauh hari, bukan cuma tentang Ara, juga tentang keluarga, orang tua, dan saudara-saudara yang berbahagia. Gue senang karena orang-orang di sekitar gue bisa merasakan kebahagiaan dalam waktu yang bersamaan.