Semenjak Sandwich isi
tuna, kehidupan berjalan seperti biasa. Cinta yang tersamarkan oleh tawa kecil,
pandangan yang bertemu namun malu tuk menyapa, dan gestur yang buatku ingin
mati di dalamnya.
Mungkin hanya sedikit yang tau, ada penyesalan yang
bila di ingat, aku bahkan tertawa sendiri di buatnya. Bagaimana bisa seseorang
yang jatuh cinta setengah mati, membuat marah setengah mati orang yang di
cintainya. Aku yang salah dan dia marah besar, itu wajar saja. Namun kita
berdua menangis, hubungan jadi korbannya, aku yang tak enak hati berusaha
menjaga jarak. Meski berat, harus ku lakukan.
Hari itu bulan Ramadhan. Tradisi sekolah menjadi
saksi bercampurnya perasaan antara segan, malas, dan... ehm bahagia. Bagaimana
semesta bekerja sama untuk menyatukan kami dalam suatu lomba.
Lomba Peragaan Busana Muslim. Iya, kami berdua
(entah disengaja atau tidak) di pasangkan untuk “Memperagakan” pakaian
laki-laki dan perempuan muslim/muslimah. Teman-teman menyarankan agar kami
berdua yang mewakili kelas. Love never felt so good.
“Udah... yang ngewakilin kelas kita buat peragaan
busana muslim lo aja lif sama dia”
Kata salah seorang teman.
“Gue?! Ah gak mau ah!”
*padahal dalem hati, Akhirnyaaaaaaaaa..... Yes yes
yes! Ini adalah momen kesempatan buat gue! Huahahahahahaha..... uhuk uhuk
uhhhuuoooeeekkk...(keselek pensil)*
Setelah dipaksa dengan duit dua ribu rupiah,
akhirnya gue mau.
*padahal gak usah di paksa juga gue udah mau.*
Seiring gue menganggukan kepala tanda kalau gue
setuju, muncul pertanyaan, dia nya mau apa enggak?
Ternyata benar dugaan gue, kalo kalo dia
pasti......... enggak mau. Iya dia nggak mau, bahkan hampir menolaknya
mentah-mentah. Dan bener lagi dugaan gue, abis itu dia sakit perut. Makanya
kalo makan jangan yang mentah-mentah.
Akhirnya setelah di rayu dan di paksa dengan uang
seribu lima ratus rupiah (lebih rendah lima ratus rupiah dari gue), akhirnya
dia mau juga. Dan satu kelas pun meng-amin-i tanda kita sah menjadi pasangan,
satu hari.
Intensitas SMS kami pun bertambah sering, dengan
alasan memilih baju bagaimana yang cocok untuk kita kenakan saat nanti naik ke
atas panggung. Ditambah lagi campur tangan nyokap gue, untungnya dia lumayan
ngerti bagaimana menjadi ibu yang baik di saat-saat seperti ini. Perpaduan
baju, warna, sampai aksesoris, sarannya lah yang terbaik.
Hijau Tosca menjadi pilihan yang disepakati,
kebetulan katanya dia punya baju hijau tosca yang lumayan bagus. Dan kebetulan
juga, nyokap gue juga punya long dress warna hijau tosca. Tapi gak mungkin gue
pake, gue gak mau ngondek sebelum waktunya. Entah dapet bisikan dari mana,
keesokan harinya dia membawa baju yang dia maksud. Dan gue harus membawa baju
itu pulang supaya nyokap gue bisa ngeliat dan punya gambaran baju apa yang
bakal gue pake nanti. Beruntung dia gak keberatan kalo bajunya gue pake simpen
untuk beberapa hari di rumah gue.
Setelah mencari waktu yang tepat, akhirnya gue dan
nyokap mencari baju muslim untuk gue di tanah abang. Setelah berkeliling
akhirnya kami menemukan baju dengan warna yg hampir mirip dengan baju yang dia
punya, walaupun gue tau kalo warna baju itu bukan hijau tosca, tapi lebih mirip
biru dongker tapi udah luntur karena sering di cuci. Ya gapapa lah, kadang
perjuangan terbaik terletak bukan di hasil akhir, tapi berada pada proses
dimana kita berusaha memperjuangkannya. Asoy.
Namun ada suatu ide yang melintas di kepala gue,
biar lebih kreatif dan inovatif serta biar bisa di lirik oleh para dewan juri.
Gue memutuskan untuk membeli bunga untuk gue kasih ke dia pas di atas panggung,
seperti di film-film, gue akan ngasih bunga itu dengan cara berlutut dihadapan
dia. Agak malu-maluin memang, namun gue optimis cara ini akan berhasil.....
membuat kita tambah malu.
Namun ada satu kendala. Di tanah abang, gak ada yang
jual bunga asli, yang ada bunga palsu. Terus gue kepikiran salah satu perkataan
dari idola gue.
“Kamu tau gak
kenapa aku beliin bunga palsu ini buat kamu? Bukan karena cinta aku ke kamu
palsu, tapi menurutku, bunga palsu ini lebih abadi dibandingkan bunga asli,
seperti cintaku padamu.”
Ya gapapa lah, gombalan mas-mas ini bakal gue jadiin
alesan kalo nanti dia nanya-nanya.
Gue pulang ke rumah, langsung ngabarin ke dia kalo
baju buat gue udah dapet. Besokkannya bajunya dia gue pulangin, dan gue, dia,
dan beberapa temen ngomongin konsep apa yang harus gue lakuin di atas panggung,
apakah a. gue harus jalan kayang, b. gue harus muterin kepala
sekenceng-kencengnya kayak trio macan, ataukah c. kedua-duanya gue lakuin.
Menurut ilmu tentang kemanusiaan yang gue pelajari, kalo point c gue lakuin,
gue bisa mati kejang sambil ngeluarin busa dari mulut gue, semacam overdosis
goyangan dangdut.
Akhirnya gue mengutarakan ide super brillian gue.
Saat itu gue ceritain kalo gue bakal ngasih bunga sambil berlutut ke dia. Tapi
kagak gue ceritain kalo bunga yang bakalan gue kasih itu bunga palsu alias
bunga plastik. Mungkin gue rasa spesies bunga plastik ini dulu adalah bunga
asli, tapi dia kurang pede, akhirnya dia pergi ke korea, untuk operasi plastik.
Makanya jangan heran kalo bunga plastik banyak yang mirip, kayak artis korea.
Lima hari sebelum perlombaan dimulai, wali kelas
kami saat itu menyuruh kami untuk berlatih / Gladi Kotor di depan kelas.
“DEG.”
Calon peserta lomba lain udah pada latihan di depan
kelas dan di tonton sama semua murid ditambah beberapa guru yang hadir untuk
sekedar memberikan arahan. Gue ngeliat ke belakang, dia ngeliatin balik,
berusaha berbicara lewat tatapan mata, tapi malah keliatan kayak orang
cacingan. Akhirnya sebagai cowok, gue maju duluan. Bukan mau latihan, tapi ke
kamar mandi. Lima menit berselang, gue udah siap dan ingin mempraktekkan
jalan-kayang-sambil-headbang, tapi dia belum juga mau maju. Entah gengsi atau
malu yang dia rasakan, atau mungkin dia belum latihan
jalan-kayang-sambil-headbang di rumah.
Tapi dia akhirnya mau maju juga, setelah melihat
wali kelas beserta seorang guru perempuan memperagakan bagaimana jadi model
catwalk dadakan. Dari mulai naik ke atas panggung sampai turun panggung mereka
contohkan dengan detail. Tapi gue masih bingung, dimana gerakan jalan-kayang-sambil-headbang
nya?
Awkward momen terjadi ketika wali kelas memberi
saran kepada kita. Dan sarannya adalah ketika kitaberjalan menuju panggung,
kita harus memegang tangan pasangan kita. Dan gue (yang sebenernya mau),
langsung memasukkan tangan ke dalam kantong celana wali kelas gue.
Dengan tujuan memberikan kode kalo gue gak mau megang tangan dia dengan tangan
kotor gue (karena gue abis pipis tapi lupa cuci tangan). Iya, gue emang
munafik, tapi seenggaknya gue cinta kebersihan.
Gue memberikan alasan kalo kita bukan/belum Muhrim.
Dan gue memberikan alternatif lain, gimana kalo pas jalan menuju panggung kita pelukan
gandengan tangan aja. Karena posisi panggung saat itu lumayan tinggi dan harus
melewati tangga terlebih dahulu, maka ide gue adalah, gue naik duluan dan gue
“Ceritanya” ngebantuin dia untuk naik ke atas panggung, berjalan sesuai arahan
wali kelas dan guru, membentuk formasi standar pilihan mereka, memberikan bunga
sambil berlutut, lalu turun panggung sambil bergandengan. Mesra sekali.
Seperti biasa, hari cepat berlalu. Tepat 2 hari
sebelum lomba di mulai kelas kami mengadakan acara BukBer alias Buka Bersama di
kawasan Bukit Duri samping rel kereta. Agak sedikit berbeda ketika itu,
beberapa guru yang dulu pernah menjadi wali kelas kami, ikut dalam acara itu.
Kami pun larut dalam obrolan yang jarang sekali bisa kami lakukan di lingkungan
sekolah. Menu makanan nya pun lumayan enak, satu porsi nasi putih hangat dengan
ayam bakar lengkap dengan sambel warna merah (emang ada sambel warna biru?).
Minumannya pun standar orang berbuka puasa, teh manis, bisa ditambahkan es jika
teh nya kepanasan. Entah cuma gue atau ada segelintir teman yang punya
kebiasaan kayak gue, gue gak bisa langsung makan nasi pas buka puasa. Sayangnya
pihak restoran tempat kami makan tidak menyediakan menu “pembuka” seperti
lontong dan teman – temannya. Alhasil gue cuma ngabisin 2 gelas teh manis, dan
makan nasi secara formalitas.
Hari yang ditunggu pun datang. Kami mengadakan rapat
kecil-kecilan dengan beberapa teman. Memperagakan gerakan dari awal sampai
akhir. Penempatan posisi, cara jalan, sampai menaruh bunga di tempat yang tidak
diketahui juri, dan meninggalkan sedikit kesan pada penampilan kami. Oke,
saatnya pengambilan nomor peserta. Gue dan beberapa peserta cowok dipanggil
satu persatu, dan disuruh memilih nomor yang sudah diacak dan di tutup dengan
tujuan agar kami tidak tahu nomor berapa yang kami ambil. Beberapa nomor sudah
diambil oleh peserta lainnya, yang tersisa tinggal nomor 1 dan 9. Beruntung gue
agak sedikit licik cerdik dalam melihat. Gue sedikit melihat kalau nomor
1 yang ada sedikit noda minyak di bagian belakang, sedangkan nomor 9 bagian
belakangnya itu bersih. Jadilah gue mengambil nomor yang bagian belakangnya
bersih. Namun sial, ternyata yang gue ambil itu nomor 1. Gue salah liat.
MAMPUS!
Setengah kaget saat gue tahu kalo nomor yang gue
ambil itu nomor yang paling pertama. Agak bingung sebenernya kalo
dipikir-pikir, dapet nomor paling pertama itu cuma ada 2 pilihan, yang pertama,
beruntung bisa cepet selesai, yang kedua, bakal jadi contoh/contekan buat
peserta lain, dan pilihan yang kedua itu menuntut rasa malu yang
sebesar-besarnya.
Untuk menghilangkan rasa malu, gue mencoba melihat
kembali gaya pakaian yang gue pake. Gue melihat gaya pakaian dan dandanan gue,
karena gue waktu itu suka banget hip-hop dan cenderung alay, karena gue alay
waktu itu, setiap gue ngangkat telepon gue selalu ngomong “Heelllooowwwhhh.....
sapa neeehhhh...??”. Waktu itu gue memutuskan untuk pake celana gombrong dan
dipelorotin sampe dengkul, tujuannya supaya boxer gue keliatan. Gaul abis.
Kemudian gue melihat gaya pakaian dia. Terlihat
sangat cantik dengan perpaduan hijau tosca dengan hitam. Jilbabnya pun tidak
terlalu panjang, tidak terlalu pendek juga (terus apa dong?) ya mungkin
cenderung panjang sedikit. Dikit aja tapi.
Beberapa menit sebelum di panggil, kami memutuskan
untuk melakukan pemanasan. Push up 25 kali, sit up 20 kali, scot jump 15 kali,
dan terakhir kami mengelilingi komplek sekolah sebanyak 10 putaran. Akhirnya
kami pingsan sebelum naik panggung.
“Yak ini dia, mari kita sambut peserta dengan nomor
urut 1...”
Kemudian kami berjalan perlahan sesuai dengan yang
di sepakati, menaiki pohon panggung, memberikan salam bak abang none
jakarta, berpose dan memamerkan pakaian yang kami gunakan. Keriuah penonton
seakan tidak terdengar. Hanya fokus pada gerakan dan berusaha sebisa mungkin
untuk tersenyum. Belum sempat berlutut dan memberikan bunga, dewan juri
menghentikan dan menuyuruh kami turun dan mengulangi dari awal karena ada
kesalahan teknis. Kampret.
Akhirnya kami mengulang dari awal, kali ini sedikit
lebih santai karena gue sudah tau atmosfer panggung dengan keriuhan penonton
yang seperti sedang menyaksikan pertandingan tinju. Pose, pose, dan pose.
Sebelum memberikan salam dan turun panggung, gue pun berlutut dan memberikan
bunga itu dengan tatapan nanar menahan malu. Dia pun menerima bunganya dengan
tersenyum lebar. Saking lebarnya senyumnya sampe kuping (ini orang apa joker
musuhnya batman?). Seraya dia menerima bunga itu, penonton semakin riuh dan
liar. Ada yang bilang “CIYE...!!!”, ada yang bersiul tapi gak bunyi, akhirnya
ludahnya muncrat ke temen depannya, dan ada suara yang samar-samar gue denger
“TURUN... TURUN.. TURUN...!!!”
Kesannya seperti terburu-buru, memberikan salam lalu
turun dari panggung sambil bergandegan. Saling menatap dalam sambil tertawa,
entah apa yang ditertawakan. Mungkin dia sedikit kaget karena bunga yang
diberikan itu bunga plastik. Tapi gue hanya tertawa, berjanji dalam hati, kalau
suatu saat gue bakal ngasih bunga asli buat dia. Suatu saat.
Pengumuman pemenang diadakan sebelum berbuka puasa.
Sebelum lomba peragaan busana muslim ini, gue juga ikut berpartisipasi dalam
lomba menulis kaligrafi. Gue juga bingung kenapa gue yang ditunjuk buat ikutan
lomba ini, padahal tulisan gue aja kaya ceker ayam. Dan gue malah tambah
bingung kenapa ada istilah “Tulisan Ceker Ayam” kalo ada tulisan yang jelek.
Terus tulisan yang bagus tuh kayak gimana? Tulisan ceker ayam betina? Karena
kebanyakan jantan tulisannya jelek-jelek? Padahal kan ayam gak bisa nulis?.
Oke balik lagi, pengumuman pemenang perlombaan satu
persatu diumumkan. Dari mulai lomba adzan subuh, lomba menulis cerpen islami,
lomba paduan suara, sampe lomba adzan subuh sambil nulis cerpen dan diiringi anjing
pelacak paduan suara. Tibalah saatnya pengumuman lomba menulis kaligrafi,
gue masih inget tulisan kaligrafi gue waktu itu adalah
“Bismillahirrohmanirohim” tapi dengan gaya grafiti plus ada gambar mural absurd
disampingnya. Gak usah dibayangin, soalnya gue pun gak abis pikir kenapa gambar
itu bisa tercipta.
Gue mulai gak fokus. Pasrah lebih tepatnya, apapun
hasil yang diterima gue terima. Suatu kejutan ternyata gue mendapatkan juara 2
untuk lomba menulis kaligrafi. Antara happy sama heran, ini kenapa gue yang
dipilih buat dapet juara 2. Apakah peserta lain gambarnya ada yang lebih jelek,
ataukah dewan juri kesian karena ngeliat gambar gue yang absurd itu, makanya
gue dipilih untuk menjadi juara 2? Entahlah, hanya waktu yang bisa menjawab.
Semua perlombaan sudah diumumkan, tinggal perlombaan
busana muslim yang belum. Agak sedikit aneh karena jenis penilaiannya menurut
perseorangan, bukan per-pasangan. Tapi yaudahlah, gue gak terlalu peduli.
Pertama yang diumumkan adalah peserta laki-laki, dan suatu kejutan (lagi)
karena gue mendapatkan juara 2 untuk busana muslim laki-laki. Dan kemudian
pengumuman busana muslim untuk perempuan, dan suatu kejutan (lagi dan lagi)
kalau dia mendapatkan juara 2 juga untuk busana muslim perempuan. Oke, lo semua
harus percaya kalo ini bukan suatu kebetulan semata.
Dan gue punya dua kabar, ada kabar gembira dan tidak
menggembirakan. Kabar gembiranya bukan kulit badak kini ada ekstraknya, tapi
melainkan kelas gue menjadi juara umum untuk perlombaan bulan ramdhan saat itu.
Dan kabar tidak menggembirakannya bukan kulit badak kini tidak ada ekstraknya,
tapi melainkan bunga yang gue kasih ke dia, dicampakkan begitu saja, menghilang
setelah dipinjam sama anak kelas satu buat mereka tampil. Seakan tidak ada
harganya, dia membiarkan begitu saja bunga itu menghilang tanpa ada usaha
menemukannya kembali. Ternyata memang benar kalau bunga plastik itu tidak ada
artinya sama sekali buat dia. Kini gue mau matahin badan idola gue menjadi dua
bagian sama rata karena dia udah buat gombalan mas-mas yang anehnya gue percaya
itu.
Rasanya seperti tidak tahu lagi harus berkata apa,
seakan semesta mendukung kami untuk bersentuhan. Bukan hanya melibatkan fisik,
tapi melibatkan batin dan perasaan yang semakin takut kehilangan. Disisi lain
gue mulai mengerti kalo perempuan itu aneh, awalnya dia seneng, lalu kemudian
bisa berubah kapan aja sesuka dia. Dan disisi lainnya lagi, gue juga mulai
sadar, kalo gue tuh bego banget, bisa-bisanya gue percaya kalo dia pasti bakal
ngejaga bunga pemberian gue sekalipun bunga itu bunga plastik. Padahal enggak, dia
butuh lebih dari itu, dan gue yang terlalu bodoh gak menyadari itu dari awal.
No comments:
Post a Comment