Saturday 5 July 2014

SETITIK ROMANSA DI BULAN RAMDHAN


Semenjak Sandwich isi tuna, kehidupan berjalan seperti biasa. Cinta yang tersamarkan oleh tawa kecil, pandangan yang bertemu namun malu tuk menyapa, dan gestur yang buatku ingin mati di dalamnya.

Mungkin hanya sedikit yang tau, ada penyesalan yang bila di ingat, aku bahkan tertawa sendiri di buatnya. Bagaimana bisa seseorang yang jatuh cinta setengah mati, membuat marah setengah mati orang yang di cintainya. Aku yang salah dan dia marah besar, itu wajar saja. Namun kita berdua menangis, hubungan jadi korbannya, aku yang tak enak hati berusaha menjaga jarak. Meski berat, harus ku lakukan.

Hari itu bulan Ramadhan. Tradisi sekolah menjadi saksi bercampurnya perasaan antara segan, malas, dan... ehm bahagia. Bagaimana semesta bekerja sama untuk menyatukan kami dalam suatu lomba.

Lomba Peragaan Busana Muslim. Iya, kami berdua (entah disengaja atau tidak) di pasangkan untuk “Memperagakan” pakaian laki-laki dan perempuan muslim/muslimah. Teman-teman menyarankan agar kami berdua yang mewakili kelas. Love never felt so good.

“Udah... yang ngewakilin kelas kita buat peragaan busana muslim lo aja lif sama dia”
Kata salah seorang teman.

“Gue?! Ah gak mau ah!”
*padahal dalem hati, Akhirnyaaaaaaaaa..... Yes yes yes! Ini adalah momen kesempatan buat gue! Huahahahahahaha..... uhuk uhuk uhhhuuoooeeekkk...(keselek pensil)*

Setelah dipaksa dengan duit dua ribu rupiah, akhirnya gue mau.
*padahal gak usah di paksa juga gue udah mau.*

Seiring gue menganggukan kepala tanda kalau gue setuju, muncul pertanyaan, dia nya mau apa enggak?

Ternyata benar dugaan gue, kalo kalo dia pasti......... enggak mau. Iya dia nggak mau, bahkan hampir menolaknya mentah-mentah. Dan bener lagi dugaan gue, abis itu dia sakit perut. Makanya kalo makan jangan yang mentah-mentah.

Akhirnya setelah di rayu dan di paksa dengan uang seribu lima ratus rupiah (lebih rendah lima ratus rupiah dari gue), akhirnya dia mau juga. Dan satu kelas pun meng-amin-i tanda kita sah menjadi pasangan, satu hari.

Intensitas SMS kami pun bertambah sering, dengan alasan memilih baju bagaimana yang cocok untuk kita kenakan saat nanti naik ke atas panggung. Ditambah lagi campur tangan nyokap gue, untungnya dia lumayan ngerti bagaimana menjadi ibu yang baik di saat-saat seperti ini. Perpaduan baju, warna, sampai aksesoris, sarannya lah yang terbaik.

Hijau Tosca menjadi pilihan yang disepakati, kebetulan katanya dia punya baju hijau tosca yang lumayan bagus. Dan kebetulan juga, nyokap gue juga punya long dress warna hijau tosca. Tapi gak mungkin gue pake, gue gak mau ngondek sebelum waktunya. Entah dapet bisikan dari mana, keesokan harinya dia membawa baju yang dia maksud. Dan gue harus membawa baju itu pulang supaya nyokap gue bisa ngeliat dan punya gambaran baju apa yang bakal gue pake nanti. Beruntung dia gak keberatan kalo bajunya gue pake simpen untuk beberapa hari di rumah gue.

Setelah mencari waktu yang tepat, akhirnya gue dan nyokap mencari baju muslim untuk gue di tanah abang. Setelah berkeliling akhirnya kami menemukan baju dengan warna yg hampir mirip dengan baju yang dia punya, walaupun gue tau kalo warna baju itu bukan hijau tosca, tapi lebih mirip biru dongker tapi udah luntur karena sering di cuci. Ya gapapa lah, kadang perjuangan terbaik terletak bukan di hasil akhir, tapi berada pada proses dimana kita berusaha memperjuangkannya. Asoy.

Namun ada suatu ide yang melintas di kepala gue, biar lebih kreatif dan inovatif serta biar bisa di lirik oleh para dewan juri. Gue memutuskan untuk membeli bunga untuk gue kasih ke dia pas di atas panggung, seperti di film-film, gue akan ngasih bunga itu dengan cara berlutut dihadapan dia. Agak malu-maluin memang, namun gue optimis cara ini akan berhasil..... membuat kita tambah malu.

Namun ada satu kendala. Di tanah abang, gak ada yang jual bunga asli, yang ada bunga palsu. Terus gue kepikiran salah satu perkataan dari idola gue.

 “Kamu tau gak kenapa aku beliin bunga palsu ini buat kamu? Bukan karena cinta aku ke kamu palsu, tapi menurutku, bunga palsu ini lebih abadi dibandingkan bunga asli, seperti cintaku padamu.”

Ya gapapa lah, gombalan mas-mas ini bakal gue jadiin alesan kalo nanti dia nanya-nanya.

Gue pulang ke rumah, langsung ngabarin ke dia kalo baju buat gue udah dapet. Besokkannya bajunya dia gue pulangin, dan gue, dia, dan beberapa temen ngomongin konsep apa yang harus gue lakuin di atas panggung, apakah a. gue harus jalan kayang, b. gue harus muterin kepala sekenceng-kencengnya kayak trio macan, ataukah c. kedua-duanya gue lakuin. Menurut ilmu tentang kemanusiaan yang gue pelajari, kalo point c gue lakuin, gue bisa mati kejang sambil ngeluarin busa dari mulut gue, semacam overdosis goyangan dangdut.

Akhirnya gue mengutarakan ide super brillian gue. Saat itu gue ceritain kalo gue bakal ngasih bunga sambil berlutut ke dia. Tapi kagak gue ceritain kalo bunga yang bakalan gue kasih itu bunga palsu alias bunga plastik. Mungkin gue rasa spesies bunga plastik ini dulu adalah bunga asli, tapi dia kurang pede, akhirnya dia pergi ke korea, untuk operasi plastik. Makanya jangan heran kalo bunga plastik banyak yang mirip, kayak artis korea.

Lima hari sebelum perlombaan dimulai, wali kelas kami saat itu menyuruh kami untuk berlatih / Gladi Kotor di depan kelas.

“DEG.”

Calon peserta lomba lain udah pada latihan di depan kelas dan di tonton sama semua murid ditambah beberapa guru yang hadir untuk sekedar memberikan arahan. Gue ngeliat ke belakang, dia ngeliatin balik, berusaha berbicara lewat tatapan mata, tapi malah keliatan kayak orang cacingan. Akhirnya sebagai cowok, gue maju duluan. Bukan mau latihan, tapi ke kamar mandi. Lima menit berselang, gue udah siap dan ingin mempraktekkan jalan-kayang-sambil-headbang, tapi dia belum juga mau maju. Entah gengsi atau malu yang dia rasakan, atau mungkin dia belum latihan jalan-kayang-sambil-headbang di rumah.

Tapi dia akhirnya mau maju juga, setelah melihat wali kelas beserta seorang guru perempuan memperagakan bagaimana jadi model catwalk dadakan. Dari mulai naik ke atas panggung sampai turun panggung mereka contohkan dengan detail. Tapi gue masih bingung, dimana gerakan jalan-kayang-sambil-headbang nya?

Awkward momen terjadi ketika wali kelas memberi saran kepada kita. Dan sarannya adalah ketika kitaberjalan menuju panggung, kita harus memegang tangan pasangan kita. Dan gue (yang sebenernya mau), langsung memasukkan tangan ke dalam kantong celana wali kelas gue. Dengan tujuan memberikan kode kalo gue gak mau megang tangan dia dengan tangan kotor gue (karena gue abis pipis tapi lupa cuci tangan). Iya, gue emang munafik, tapi seenggaknya gue cinta kebersihan.

Gue memberikan alasan kalo kita bukan/belum Muhrim. Dan gue memberikan alternatif lain, gimana kalo pas jalan menuju panggung kita pelukan gandengan tangan aja. Karena posisi panggung saat itu lumayan tinggi dan harus melewati tangga terlebih dahulu, maka ide gue adalah, gue naik duluan dan gue “Ceritanya” ngebantuin dia untuk naik ke atas panggung, berjalan sesuai arahan wali kelas dan guru, membentuk formasi standar pilihan mereka, memberikan bunga sambil berlutut, lalu turun panggung sambil bergandengan. Mesra sekali.

Seperti biasa, hari cepat berlalu. Tepat 2 hari sebelum lomba di mulai kelas kami mengadakan acara BukBer alias Buka Bersama di kawasan Bukit Duri samping rel kereta. Agak sedikit berbeda ketika itu, beberapa guru yang dulu pernah menjadi wali kelas kami, ikut dalam acara itu. Kami pun larut dalam obrolan yang jarang sekali bisa kami lakukan di lingkungan sekolah. Menu makanan nya pun lumayan enak, satu porsi nasi putih hangat dengan ayam bakar lengkap dengan sambel warna merah (emang ada sambel warna biru?). Minumannya pun standar orang berbuka puasa, teh manis, bisa ditambahkan es jika teh nya kepanasan. Entah cuma gue atau ada segelintir teman yang punya kebiasaan kayak gue, gue gak bisa langsung makan nasi pas buka puasa. Sayangnya pihak restoran tempat kami makan tidak menyediakan menu “pembuka” seperti lontong dan teman – temannya. Alhasil gue cuma ngabisin 2 gelas teh manis, dan makan nasi secara formalitas.

Hari yang ditunggu pun datang. Kami mengadakan rapat kecil-kecilan dengan beberapa teman. Memperagakan gerakan dari awal sampai akhir. Penempatan posisi, cara jalan, sampai menaruh bunga di tempat yang tidak diketahui juri, dan meninggalkan sedikit kesan pada penampilan kami. Oke, saatnya pengambilan nomor peserta. Gue dan beberapa peserta cowok dipanggil satu persatu, dan disuruh memilih nomor yang sudah diacak dan di tutup dengan tujuan agar kami tidak tahu nomor berapa yang kami ambil. Beberapa nomor sudah diambil oleh peserta lainnya, yang tersisa tinggal nomor 1 dan 9. Beruntung gue agak sedikit licik cerdik dalam melihat. Gue sedikit melihat kalau nomor 1 yang ada sedikit noda minyak di bagian belakang, sedangkan nomor 9 bagian belakangnya itu bersih. Jadilah gue mengambil nomor yang bagian belakangnya bersih. Namun sial, ternyata yang gue ambil itu nomor 1. Gue salah liat.

MAMPUS!

Setengah kaget saat gue tahu kalo nomor yang gue ambil itu nomor yang paling pertama. Agak bingung sebenernya kalo dipikir-pikir, dapet nomor paling pertama itu cuma ada 2 pilihan, yang pertama, beruntung bisa cepet selesai, yang kedua, bakal jadi contoh/contekan buat peserta lain, dan pilihan yang kedua itu menuntut rasa malu yang sebesar-besarnya.

Untuk menghilangkan rasa malu, gue mencoba melihat kembali gaya pakaian yang gue pake. Gue melihat gaya pakaian dan dandanan gue, karena gue waktu itu suka banget hip-hop dan cenderung alay, karena gue alay waktu itu, setiap gue ngangkat telepon gue selalu ngomong “Heelllooowwwhhh..... sapa neeehhhh...??”. Waktu itu gue memutuskan untuk pake celana gombrong dan dipelorotin sampe dengkul, tujuannya supaya boxer gue keliatan. Gaul abis.

Kemudian gue melihat gaya pakaian dia. Terlihat sangat cantik dengan perpaduan hijau tosca dengan hitam. Jilbabnya pun tidak terlalu panjang, tidak terlalu pendek juga (terus apa dong?) ya mungkin cenderung panjang sedikit. Dikit aja tapi.

Beberapa menit sebelum di panggil, kami memutuskan untuk melakukan pemanasan. Push up 25 kali, sit up 20 kali, scot jump 15 kali, dan terakhir kami mengelilingi komplek sekolah sebanyak 10 putaran. Akhirnya kami pingsan sebelum naik panggung.

“Yak ini dia, mari kita sambut peserta dengan nomor urut 1...”

Kemudian kami berjalan perlahan sesuai dengan yang di sepakati, menaiki pohon panggung, memberikan salam bak abang none jakarta, berpose dan memamerkan pakaian yang kami gunakan. Keriuah penonton seakan tidak terdengar. Hanya fokus pada gerakan dan berusaha sebisa mungkin untuk tersenyum. Belum sempat berlutut dan memberikan bunga, dewan juri menghentikan dan menuyuruh kami turun dan mengulangi dari awal karena ada kesalahan teknis. Kampret.

Akhirnya kami mengulang dari awal, kali ini sedikit lebih santai karena gue sudah tau atmosfer panggung dengan keriuhan penonton yang seperti sedang menyaksikan pertandingan tinju. Pose, pose, dan pose. Sebelum memberikan salam dan turun panggung, gue pun berlutut dan memberikan bunga itu dengan tatapan nanar menahan malu. Dia pun menerima bunganya dengan tersenyum lebar. Saking lebarnya senyumnya sampe kuping (ini orang apa joker musuhnya batman?). Seraya dia menerima bunga itu, penonton semakin riuh dan liar. Ada yang bilang “CIYE...!!!”, ada yang bersiul tapi gak bunyi, akhirnya ludahnya muncrat ke temen depannya, dan ada suara yang samar-samar gue denger “TURUN... TURUN.. TURUN...!!!”

Kesannya seperti terburu-buru, memberikan salam lalu turun dari panggung sambil bergandegan. Saling menatap dalam sambil tertawa, entah apa yang ditertawakan. Mungkin dia sedikit kaget karena bunga yang diberikan itu bunga plastik. Tapi gue hanya tertawa, berjanji dalam hati, kalau suatu saat gue bakal ngasih bunga asli buat dia. Suatu saat.

Pengumuman pemenang diadakan sebelum berbuka puasa. Sebelum lomba peragaan busana muslim ini, gue juga ikut berpartisipasi dalam lomba menulis kaligrafi. Gue juga bingung kenapa gue yang ditunjuk buat ikutan lomba ini, padahal tulisan gue aja kaya ceker ayam. Dan gue malah tambah bingung kenapa ada istilah “Tulisan Ceker Ayam” kalo ada tulisan yang jelek. Terus tulisan yang bagus tuh kayak gimana? Tulisan ceker ayam betina? Karena kebanyakan jantan tulisannya jelek-jelek? Padahal kan ayam gak bisa nulis?.

Oke balik lagi, pengumuman pemenang perlombaan satu persatu diumumkan. Dari mulai lomba adzan subuh, lomba menulis cerpen islami, lomba paduan suara, sampe lomba adzan subuh sambil nulis cerpen dan diiringi anjing pelacak paduan suara. Tibalah saatnya pengumuman lomba menulis kaligrafi, gue masih inget tulisan kaligrafi gue waktu itu adalah “Bismillahirrohmanirohim” tapi dengan gaya grafiti plus ada gambar mural absurd disampingnya. Gak usah dibayangin, soalnya gue pun gak abis pikir kenapa gambar itu bisa tercipta.

Gue mulai gak fokus. Pasrah lebih tepatnya, apapun hasil yang diterima gue terima. Suatu kejutan ternyata gue mendapatkan juara 2 untuk lomba menulis kaligrafi. Antara happy sama heran, ini kenapa gue yang dipilih buat dapet juara 2. Apakah peserta lain gambarnya ada yang lebih jelek, ataukah dewan juri kesian karena ngeliat gambar gue yang absurd itu, makanya gue dipilih untuk menjadi juara 2? Entahlah, hanya waktu yang bisa menjawab.

Semua perlombaan sudah diumumkan, tinggal perlombaan busana muslim yang belum. Agak sedikit aneh karena jenis penilaiannya menurut perseorangan, bukan per-pasangan. Tapi yaudahlah, gue gak terlalu peduli. Pertama yang diumumkan adalah peserta laki-laki, dan suatu kejutan (lagi) karena gue mendapatkan juara 2 untuk busana muslim laki-laki. Dan kemudian pengumuman busana muslim untuk perempuan, dan suatu kejutan (lagi dan lagi) kalau dia mendapatkan juara 2 juga untuk busana muslim perempuan. Oke, lo semua harus percaya kalo ini bukan suatu kebetulan semata.

Dan gue punya dua kabar, ada kabar gembira dan tidak menggembirakan. Kabar gembiranya bukan kulit badak kini ada ekstraknya, tapi melainkan kelas gue menjadi juara umum untuk perlombaan bulan ramdhan saat itu. Dan kabar tidak menggembirakannya bukan kulit badak kini tidak ada ekstraknya, tapi melainkan bunga yang gue kasih ke dia, dicampakkan begitu saja, menghilang setelah dipinjam sama anak kelas satu buat mereka tampil. Seakan tidak ada harganya, dia membiarkan begitu saja bunga itu menghilang tanpa ada usaha menemukannya kembali. Ternyata memang benar kalau bunga plastik itu tidak ada artinya sama sekali buat dia. Kini gue mau matahin badan idola gue menjadi dua bagian sama rata karena dia udah buat gombalan mas-mas yang anehnya gue percaya itu.

Rasanya seperti tidak tahu lagi harus berkata apa, seakan semesta mendukung kami untuk bersentuhan. Bukan hanya melibatkan fisik, tapi melibatkan batin dan perasaan yang semakin takut kehilangan. Disisi lain gue mulai mengerti kalo perempuan itu aneh, awalnya dia seneng, lalu kemudian bisa berubah kapan aja sesuka dia. Dan disisi lainnya lagi, gue juga mulai sadar, kalo gue tuh bego banget, bisa-bisanya gue percaya kalo dia pasti bakal ngejaga bunga pemberian gue sekalipun bunga itu bunga plastik. Padahal enggak, dia butuh lebih dari itu, dan gue yang terlalu bodoh gak menyadari itu dari awal.

No comments:

Post a Comment